Palembang, Gatra.com - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Selatan (Sumsel) mendorong eksportir kelapa beralih menggunakan sistem kupas mekanisasi (menggunakan mesin). Upaya ini dilakukan sebagai bentuk respon ditolaknya ekspor kelapa yang dilakukan pemerintah Thailand.
Kepala Bidang Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (P2HP) Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Arpani menjelaskan, para eksportir di Sumsel masih menggunakan sistem kupas tradisonal atau menggunakan tenaga manusia yang rentan memakan waktu lebih lama yakni kisaran 3 minggu hingga satu bulan. “Dalam satu kontainer saja ada 25.000 butir kelapa, kalau dikerjakan tenaga manusia tentu membutuhkan waktu. Ke depan harus ada mekanisasi,” ungkapnya kepada Gatra.com, Selasa (19/11).
Secara normal, waktu yang dibutuhkan dalam proses manual yakni mulai dari memetik, mengupas hingga sampai ke negara tujuan, seperti Thailand bisa memakan waktu 1-1,5 bulan. Sehingga diperlukan upaya mekanisasi guna mengolahnya dan tidak mengekspor kelapa bulat.
“Upaya mekanisasi bakal diupayakan pihaknya mulai skema anggaran APBD maupun APBN. Saat ini Riau sudah sukses menggunakan mekanisisasi, bahkan sudah membuat pabrik sendiri. Sumsel sangat memungkinkan untuk melakukankan mekanisasi,” terangnya.
Saat ini, luasan perkebunan kelapa di Sumsel mencapai 60.000 hektar dan setiap hektar kebun bisa menghasilkan 5.000 kelapa/tiga bulan. Sementara itu, harga kelapa masih terbilang tinggi yakni Rp2.000/butir sudah dikupas, namun harga akan lebih murah jika berasal dari kebun dengan kisaran harganya Rp1.700-1.800/butir.
“Saat ini Sumsel merupakan penghasil kelapa terbesar di Indonesia. Hasil kelapa di Sumsel sendiri sebagai besar di ekspor ketimbang inpor dengan persestase 75 persen untuk ekspor dan 25 persen untuk inpor,” terangnya.
Eksportir Kelapa Sumsel, Muhammad Rajif Nasir mengaku proses petik dan kupas yang dilakukan secara manual menjadi masalah dalam proses pengelolahan kelapa untuk ekspor. “Waktunya memang lama, kita masih menggunakan sistem manual. Saat ini kelapa yang kita ekspor ke Thailand dikembalikan karena sudah tumbuh tunas. Sebanyak 25 kontainer yang dikembalikan, satu kontainernya saya mengalami kerugian sebesar Rp100 juta,” ucapnya.
Reporter: Karerek