Banyumas, Gatra.com - Literatur sastra Banyumas ternyata masih sulit ditemukan. Hal itu disebabkan minimnya dokumentasi karya penulis di daerah tersebut.
Esais asal Purbalingga, Teguh Trianton mengatakan, pegiat sastra membutuhkan kanal yang menyatukan berbagai karya dari komunitas sastra di daerah. Jejaring ini dapat memanfaatkan perkembangan teknologi informasi.
"Adanya platform digital sebetulnya menjadi angin segar, sebab sastra tak lagi berjarak. Era cyber sastra ini telah hadir sejak awal milenium seperti yang diungkapkan kurator sastra, Saut Situmorang," ujarnya pada Sarasehan Sastra Seniman se Kabupaten Banyumas di Pendapa Wakil Bupati, Purwokerto, Jawa Tengah, Selasa (19/11).
Teguh mengemukakan, mirisnya, karya sastra Banyumas seakan tak pernah muncul dalam literasi digital. Sebab, nyaris tidak ada kurator yang rajin mengumpulkan karya sastra daerah.
"Banyumas butuh kanal sastra yang terkoneksi antar kelompok sastra. Hal ini seharusnya bisa diwujudkan di era internet seperti saat ini," ujarnya.
Meski demikian, Dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto ini mengakui, kualitas karya sastra di dunia digital ini lebih rendah bila dibandingkan sebelum era milenial. Sebab, karya tersebut lahir tanpa ada proses kurasi.
Saut, kata Teguh, menyebut fenomena tersebut dengan era "Mendadak Sastra". Semua orang bisa menulis syair, puisi dan bercerita dengan mudah sebagai sebuah ungkapan hati.
Problematika ini juga menjangkiti kalangan guru. Tiba-tiba saja banyak pendidik yang menerbitkan buku kumpulan puisi dalam jumlah terbatas, hanya 5-10 eksemplar.
"Penerbitan karya yang terbatas itu bernuansa kepentingan pragmatis. Penulisnya, tak lagi memikirkan karya tersebut dibaca oleh orang lain atau tidak," kata dia.
Sementara itu, Seniman Banyumas, Jarot C Setyoko mengatakan, dunia sastra membutuhkan ruang apresiasi yang lebih luas. Sebab, media massa, seperti koran menjadi ruang eksklusif untuk mengukur layak atau tidaknya seseorang disebut sastrawan. Fenomena lainnya, kanal digital dan media sosial menjadi ruang alternatif bagi pegiat sastra terutama dari kaum muda untuk menunjukkan dirinya.
"Tahun 80an, media massa menjadi panggung atau yang disebut sastra rezim. Hanya menjadi perdebatan oleh sastrawan dan ruang redaksi. Ibarat pertandingan tinju, jangan-jangan tidak ada yang menonton atau membaca karya itu," kata penulis naskah teater ini.
Menurut dia, pada masa masyarakat digital, media sosial menjadi ruang baru bagi karya sastra. Namun, konsistensi pegiatnya masih dipertanyakan. Sebab Asian Press Recovery dalam salah satu laporannya menemukan, grup media sosial sastra Melayu sangat jarang yang bertahan hingga dua tahun.
Penyair Banyumas, Wanto Tirta mengaku tetap berupaya mempertahankan dialek Banyumas sebagai gaya geguritan (puisi) maupun pantun. Pasalnya, dia ingin mengenalkan bahasa ibu sebagai gaya bahasa sastra.
"Sastra Jawa terutama Banyumas, itu perlu diangkat ke permukaan. Dikenalkan secara meluas dan mendapatkan apresiasi, bahwa dialek Banyumasan memiliki kekayaan seperti karya sastra dari daerah lain di Indonesia," katanya.