Jakarta, Gatra.com - Yayasan riset Madani Berkelanjutan menyebut ada 1.253 konsesi atau perusahaan yang diduga membakar lahan di Indonesia. Perusahaan itu wajib bertanggung jawab tak hanya soal kebakaran hutan dan lahan (karhutla) saja, namun juga dampak kumulatif di masa mendatang. Termasuk soal kesehatan dan masa depan anak-anak.
"Sedikitnya ada 1.253 konsesi atau perusahaan yang membakar. Mereka inilah yang harus dilihat pertanggungjawabannya. Bukan hanya karena lahannya terbakar, tetapi atas dampak yang diberikan secara kumulatif dari tahun ke tahun. Bahkan harus dihitung bobot tahun ke depan," kata Direktur Eksekutif Madani, Muhammad Teguh Surya di Jakarta, Selasa (18/11).
Teguh menyebut hal itu menjadi ancaman generasi unggul ke depan. Padahal, generasi atau Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul kerap kali digaungkan oleh Presiden Joko Widodo. Ia merasa pesimis misi itu bisa diwujudkan jika pemerintah pun tak ada ketegasan untuk bergerak dan menindak perusahaan pelaku karhutla.
Baca Juga: BNPB: 3.271 Bencana di Indonesia, 708 Diantaranya Karhutla
Salah satu dampak yang paling terasa adalah asap beracun PM2.5 yang timbul akibat karhutla. Asap itu menimbulkan penyakit terhadap masyarakat korban terdampak karhutla.
Di Riau, misalnya. Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Provinsi Riau, proporsi terbesar penyakit yang ditimbulkan dari karhutla sejak Januari 2014 hingga Agustus 2019 adalah batuk, ISPA, pneumonia, infeksi kulit, TB paru, dan beberapa penyakit degeneratif lainnya.
Sementara itu, pada 2018, 31,4% penderita pneumonia pada balita di Indonesia berada di provinsi Riau, yang terbesar di Kabupaten Siak (86,9%), disusul Kabupaten Pelalawan (72,8%), Kabupaten Kota Dumai (64,4%), dan Kepulauan Meranti (59,6%).
Baca Juga: Sarolangun Miliki 24 Desa Tangguh Bencana
Terganggunya kesehatan masyarakat akibat karhutla yang menimbulkan asap beracun PM2.5 adalah tanggung jawab dari para pemilik lahan dan konsesi yang lahannya terbakar dan juga pemerintah. "Selain itu, mitigasi Karhutla dan penanganan korban asap harus menjadi prioritas utama pemerintah dan terintegrasi ke dalam rencana pembangunan daerah dan nasional," tambahnya.
Pemerintah harus mempersiapkan infrastruktur untuk menangani korban asap beracun, baik saat bencana terjadi maupun dalam jangka panjang, termasuk langkah-langkah mitigasinya. Pemerintah pun selayaknya merancang program sosialisasi bahaya asap dan rencana tanggap bencana.
Di samping itu, wajib bagi wilayah terdampak untuk memiliki fasilitas kesehatan secara gratis bagi para korban yang dibiayai oleh APBN/APBD. Yang terakhir, pemerintah harus mempercepat dan memperkuat upaya restorasi gambut setelah 2020. Tak lupa pula melaksanakan review izin dan penegakan hukum lingkungan untuk memberantas karhutla dari akarnya.