Jakarta, Gatra.com – Divisi penelitian dan pengembangan Kompas (Litbang Kompas) merilis laporan riset survei monitoring dan evaluasi dari seleksi anggota polri tahun 2019. Survei tersebut memapar temuan terhadap seleksi anggota polri yang dilakukan di enam Polda dan Akpol Semarang yang mengambil 310 koresponden polisi dengan rincian 30 Tamtama, 248 Bintara, dan 32 Taruna.
Peneliti Litbang Kompas, Bernardus Satrio mengatakan sejauh ini rekrutmen anggota polri sudah jauh lebih baik dan akuntabel. Meski demikian hasil penelitian Litbang Kompas mengungkap indikasi bahwa publik masih ragu akan proses penerimaan anggota polri yang bebas suap.
Dari 525 responden dari kalangan masyarakat, sebanyak 69,7% menyatakan ketidakyakinannya akan proses penerimaan anggota polri yang bebas suap, sisanya menjawab tidak tahu (22,1%) dan yakin (8,2%). Hasil survei jajak pendapat yang dilakukan via telepon itu turut memberikan catatan bahwa stigma yang terbangun di masyarakat yakni proses seleksi di Korps Bhayangkara itu memerlukan uang suap dan gratifikasi lainnya.
“Responden tidak yakin bahwa polri dalam proses rekrutmennya sudah bersih dari suap. Jadi inilah yang menjadi persoalan bahwa sebaik-baik apapun [proses] yang sudah dilakukan, anggapan bahwa untuk menjadi anggota polri harus bayar itu masih melekat kuat di benak publik,” ujar Bernardus Satrio saat acara Focus Group Discussion terkait Rekrutmen Polri TA 2019 di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, Selasa (19/11).
Ia mengatakan institusi polri lewat biro SDM harus bekerja keras untuk meningkatkan reputasi polri di mata publik. Salah satu cara yang bisa dilakukan menurut Satrio yakni polri lewat divisi humasnya gencar melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat bahwa rekrutmen polri sekarang sudah berjalan transfaran dan profesional.
“Yang mungkin bisa dilakukan yaitu Divhumas Polri berani menggencarkan sosialisasi dan testimoni di kalangan siswa yang berhasil maupun mereka yang tidak berhasil, apapun latar belakangnya,” katanya. Dirinya menyebut sejauh ini banyak kasus seorang yang berasal dari keluarga kurang mampu berhasil diterima di kepolisian, dan mereka yang tinggal di kawasan terpelosok mengabdi sebagai perwira polri.
“Casis [calon siswa] yang berasal dari keluarga latar sederhana yang memenuhi syarat akan menjadi contoh positif, bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi anggota polri tanpa biaya,” ungkap Satrio. Rekrutmen polri saat ini, terangnya, sudah lebih baik dibandingkan perusahaan swasta yang kental katabelece dan nepotisme.
Peningkatan kepercayaan itu menurut Satrio sejalan dengan program promoter polri. “Hampir 70 persen responden masih percaya untuk masuk menjadi anggota polri pasti ada suap. Bagaimana kita menekan yang 69 persen ini untuk menjadi semakin kecil dan memperbesar yang 22 persen, bahwa kita yakin bahwa polri sudah bersih dari suap,” tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Andrea H. Poeloengan mengatakan fenomena calo atau “penembak di atas kuda” masih menjadi momok bagi rekrutmen polri dari tahun ke tahun. Ia menyarankan perlu ada penegakan hukum yang tegas bagi mereka yang menjual nama institusi untuk kepentingan tertentu.
“Jadi penembak di atas kuda itu sudah di luar kewenangan panitia. Mereka itu spekulan yang berjudi dengan dirinya sendiri, mencoba mencari keuntungan dari peserta. Sekarang yang seperti itu kan enggak bisa dicegah kecuali dengan whistle blower,” katanya. Bagi oknum yang menjanjikan kelulusan kepada casis menurutnya layak dijerat dengan pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait dengan kesengajaan pemufakatan jahat.
“Ini yang memberikan [uang] kan penyuap, yang menerima berarti penerima suap. Saya sangat menyarankan coba digunakan Pasal 15 UU Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi. Itu kan masuk delik percobaan. Ini kan sudah ada percobaan suap berdasarkan UU Tipikor kalau yang menerimanya itu adalah penyelenggara negara termasuk PNS dan anggota Polri,” ujarnya.
Kekhawatiran keberadaan para calo bukan isapan jempol belaka. Berdasarkan rilis yang disampaikan Litbang Kompas, kasus “penembak di atas kuda” itu dialami oleh beberapa casis di Sumatera Utara (4 casis), NTB (2 casis), dan Papua (2 casis). Dari 280 responden casis yang memberikan keterangan sebanyak delapan orang atau 3 persennya mengaku didekati dan ditawari bantuan oleh para calo dengan iming-iming tertentu.
Sebanyak 3 casis menyebut pihak yang menghubungi mengaku anggota Polisi (1 Sumut, 1 NTB, 1 Papua). Sementara 5 Casis lainnya menyebut tidak tahu siapa yang menghubungi namun mengaku ditawari bantuan dengan syarat membayar imbalan.