Jakarta, Gatra.com - Wakil Ketua Komisi II DPR Arwani Thomafi mengatakan DPR terbuka untuk menghimpun berbagai masukan dari bebagai kalangan terkait wacana memasukkan kembali UU Pilkada ke dalam Prolegnas mengenai pemilihan secara langsung.
Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani menyebut keduanya, baik pemilihan secara langsung maupun tidak langsung memiliki nilai positif dan negatifnya masing-masing.
Belakangan, UU Pilkada menjadi sorotan usai Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan bahwa pemilihan secara langsung perlu dievaluasi dan dikaji ulang.
"Setidaknya dua hal menjadi problem utama, kenapa kita dulu beralih dari Pilkada (yang dipilih) DPRD menjadi Pilkada langsung yang dipilih oleh rakyat. Salah satunya, ada gap (jarak) antara keinginan rakyat dengan pilihan dari anggota DPRD," kata Arwani di sela-sela forum diskusi yang digelar PPP, di Jakarta Selasa, (19/11).
Arwani mengatakan kesenjangan antara keiginan rakyat dengan kamauan anggota DPRD menghasilkan pemimpin-pemimpin daerah yang justru tidak dikehendaki oleh rakyat.
"Kedaulatan rakyat, dengan adanya pemilihan langsung maka masyarakat bisa langung berkehendak atas pilihannya tanpa melalui anggota DPRD," tambahnya.
Namun, dalam perjalanannya selama ini, lanjut Arwani, alih-alih kedaulatan rakyat itu bisa terlaksana, namun yang terjadi di masyarakat dalam melakukan pilihan didominasi oleh kekuatan pemodal.
"Mereka yang ingin menjadi bupati atau gubernur membutuhkan dana yang sangat besar," kata Arwani.
Dikatakan, pemodal dapat menggelontorkan dana demi meraih simpatisan dan suara langsung dengan politik uang. Maka, di situlah letak negatif daripada pemilihan langsung.
"Menurut penelitian KPK, seorang kepala daerah (yang ikut pilkada) harus menyiapkan uang 30 sampai 100 miliar," katanya.