Kuala Lumpur, Gatra.com - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad menyampaikan hasil pertemuan tingkat menteri negara penghasil minyak kelapa sawit (CPOPC) 2019, di Kuala Lumpur, Malaysia, yang berlangsung pada Senin kemarin (18/11).
“Kami menyampaikan hasil pertemuan tersebut dan beliau sangat mengapresiasi langkah Indonesia sebagai pioner mandatori Biodiesel 30 persen atau B30,” kata Airlangga usai pertemuan tersebut kepada Gatra.com, di Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa Siang (19/11).
Airlangga menyebut dalam pertemuan tersebut, Mahathir juga menyampaikan bahwa baik Indonesia sebagai pioneering B 30 nantinya di tahun 2020, Malaysia juga sudah menetapkan untuk melaksanakan apa yang disepakati penggunaan B 20 di tahun 2020.
“Malaysia bahkan mewajibkan MSPO Standar Sustainabilitas yang setara dengan ISPO Malaysia pada Januari 2020 dan menyambut positif usulan Indonesia untuk menyatukan dan harmonisasi standar International bersama,” kata Airlangga.
Terkait kampanye negatif di Uni Eropa, Airlangga menyebut, Mahathir bersepakat dengan harapan Menko Perekonomian Indonesia dapat berkampanye positif bersama dengan alokasi resources yang cukup, serta siap bertukar informasi menyusun langkah strategis litigasi di forum Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) terkait kebijakan produk biodiesel di Uni Eropa (UE) nantinya di tahun 2030.
“Ada 4 negara akan bergabung melengkapi keanggotaan yakni Columbia, Papua New Guinea, Honduras, Nigeria. Ini nantinya dapat menjadi daya tawar atau bargaining position CPOPC menguat di dunia international,” kata Airlangga.
Sebelumnya diketahui komisi eropa mengeluarkan regulasi turunan (delegated act) dari kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II), yang mengklasifikasikan Kelapa Sawit sebagai komoditas bahan bakar nabati, yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi. Rancangan peraturan tersebut bertujuan membatasi dan nantinya pada 2030 secara efektif melarang sama sekali penggunaan biofuel berbasis Kelapa Sawit di UE, melalui penggunaan konsep Indirect Land Use Change (ILUC).
Pemerintah Indonesia siap menghadapi sikap diskriminatif Uni Eropa (UE) terhadap produk minyak sawit Indonesia.
Sehari sebelumnya dalam pertemuan Menko Perekonomian Indonesia dan Menteri Industri Utama Malaysia Teresa Kok, serta para menteri atau perwakilan dari negara penghasil minyak kelapa sawit di dunia, di antaranya Thailand, Kolombia, Nigeria, Papua Nugini, Ghana, Honduras dan Brazil, menyepakati dengan mengajak negara-negara penghasil minyak kelapa sawit, untuk meningkatkan kerja sama dalam hal membangun strategi dalam upaya memperbaiki harga pada level, yang lebih baik terutama untuk petani dan perkebun rakyat.
Baca Juga: Indonesia Ajak Negara Produsen Sawit Jalankan Mandatori B20
Selain itu juga melanjutkan kegiatan promosi dan meningkatkan konsumsi biodiesel untuk menyerap lebih banyak minyak kelapa sawit pada pasar global, termasuk melalui implementasi mandatori B30 di Indonesia pada 1 Januari 2020.
Saat ini, proses uji coba sedang berlangsung dengan hasil sementara memperlihatkan tidak ada dampak negatif yang signifikan dari program tersebut. Pada 2020 Malaysia juga berkomitmen mengimplementasikan B20 dan Thailand akan mengimplementasikan B10.
Kesepakatan lain yakni komitmen untuk membangun satu standar bersama sertifikasi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan pada tahun 2020.
Selain itu, terus melanjutkan langkah-langkah konkret dalam upaya menghadapi kampanye negatif terhadap kelapa sawit, termasuk melalui forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Mengundang negara produsen kelapa sawit lain di dunia untuk bergabung dalam keanggotaan Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) dan meningkatkan kesejahteraan di tingkat perkebunan rakyat.
Untuk itu, Indonesia perlu terus mendorong program penanaman kembali (replanting) agar imbal hasil (yield) kelapa sawit bisa ditingkatkan.
Kebun rakyat di Malaysia dan Thailand saat ini menghasilkan yield lebih tinggi dibandingkan Indonesia.