Home Politik Warga Serobot Tanah PTPN, Konflik Agraria Berlarut-larut

Warga Serobot Tanah PTPN, Konflik Agraria Berlarut-larut

Jakarta, Gatra.com - Perwakilan kelompok tani Komite Rakyat Bersatu dari Sumatera Utara (Sumut), Unggul Tampubolon menjelaskan salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Perkebunan Nusantara (PTPN) tersandung konflik agraria sejak 2002. Masalah itu tak kunjung selesai sampai hari ini sehingga kelompok tani tersebut melakukan aksi dan audiensi ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Unggul membeberkan, konflik bermula saat PTPN, yang memiliki tanah dekat dengan kawasan warga, sudah kehabisan perizinan atau sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) sejak 1998. Unggul menyebut, hingga tahun 2000 pihak perusahaan belum memiliki sertifikat perpanjangan izin itu.

"Masyarakat tahu kalau PTPN itu tidak mempunyai HGU perpanjangan, sehingga masyarakat masuk ke dalam (kawasan). Menguasai, mengelola, membangun tempat tinggal," kata Unggul kepada Gatra.com, Senin (18/11).

PTPN sempat merasa keberatan, namun mereka tidak punya dasar hukum untuk merebut kembali lahannya. Hingga tahun 2002, akhirnya perusahaan itu memiliki sertifikat perpanjangan. Dengan begitu, otomatis warga diminta untuk angkat kaki dari wilayah kekuasaan PTPN.

Unggul menyebut warga mencoba melakukan perlawanan, namun sayangnya tidak maksimal, karena kurang anggaran. Ia melihat ada pemerintah tak meredam konflik yang sedang terjadi itu.

"Saya sebagai orang yang langsung bersinggungan dengan mereka, saya menilai ada pembiaran, ada tujuan maksud tertentu supaya tanah itu tak bertuan. Dan setelah ada waktunya (2002), mereka melakukan nego-nego kepada pihak pengembang (untuk dijual)," papar dia.

Konflik itu langgeng hingga pada akhirnya pecah ketika 2012 silam. Unggul bahkan menyebut konflik itu memakan korban jiwa yang berasal dari warga karena diduga berkelahi dengan preman-preman yang disewa para pengembang. Pengembang itu sendiri tinggal di kawasan konflik tersebut.

"Sudah ratusan korban, meninggal sekitar 20-an. Proses hukum, ada yang diproses, ada yang enggak, misalnya ketahuan, pembunuhnya ditangkap. Tapi aktor intelektualnya gak kesentuh," jelasnya.

Sebelumnya, Unggul mencoba untuk menyuarakan kasus ini ke Kementerian ATR/BPN di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (18/11). Dalam audiensi itu, ia mengatakan pihaknya hanya menyampaikan sederet kejanggalan yang dilakukan oleh BPN Sumut dalam menangani konflik agraria di sana. Namun, pihak kementerian, yang diwakili oleh Dirjen Pengadaan Tanah, Arie Yuriwin, mengaku bukan kapasitasnya untuk menangani kasus tersebut.

"Kami pertanyakan masalah nilai ganti rugi yang ada di tim penilai tanah yang dibentuk oleh gubernur. jadi tadi yang disampaikan (kementerian), 'kami tidak berwenang masalah di situ, dipertanyakan ke pihak BUMN'," ungkap Unggul.

Adapun poin yang dipermasalahkan adalah karena tak adanya transparansi soal perizinan PTPN untuk mengolah lahan di tanah warga pada 2002 silam. "Tolong itu ditinjau supaya tidak muncul kemarahan dari rakyat karena itu tinggal menunggu bom waktu. Kebijakan pemerintah (daerah) Sumut itu tidak pro-rakyat, yang ada baru pro-pengembang," papar dia.

Unggul menyayangkan audiensinya yang menemui kebuntuan. Kendati begitu, ia diberitahu akan dipertemukan dengan Wakil Menteri ATR/BPN.

"Merasa kurang (memuaskan). Enggak ada (langkah hukum). Jadi mereka hanya menampung aspirasi kita, terus mengambil fakta itu untuk dipelajari," jelas dia.

Karena tak ada langkah hukum yang pasti dari Kementerian ATR/BPN, Unggul dan rekan-rekan sempat melanjutkan perjuangannya ke Komisi II DPR. Rencananya ia besok akan bertolak ke Istana Merdeka dan BUMN. Unggul bahkan mewacanakan akan berkonsultasi dengan KPK.

857