Jakarta, Gatra.com - Pidato Sukmawati yang memuji peran bapaknya Ir. Soekarno dalam merebut kemerdekaan RI, dan membandingkan dengan peran Nabi Muhammad SAW memerdekakan Indonesia memang bukan perbandingan yang pas. Sehingga menimbulkan kontroversi dan sensasi yang tajam di masyarakat. Sukmawati dilaporkan ke polisi oleh Koordinator Bela Islam. Namun Imparsial memilih bela Sukmawati.
Koordinator Program Imparsial, Ardimanto Adiputra menyebut bahwa pidato yang disampaikan oleh Sukmawati Soekarnoputri tidak merendahkan ataupun menegasikan salah satu pihak. Sehingga, perlu melihat konteks tertentu dalam menilai maksud dari pidato yang disampaikan tersebut.
"Statemen Sukmawati terkait dugaan penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW memang harus dilihat dalam konteks tertentu. Namun, saya melihat dia tidak sedang merendahkan yang lain, tetapi ingin melihat dan menyebut bahwa dalam konteks masa tertentu, ada juga orang yang beri manfaat banyak bukan membandingkan," ujarnya saat ditemui di kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (17/11).
Ia menyebut pada masa peradaban manusia, Nabi Muhammad SAW yang memiliki peranan dalam konteks itu tetapi pada zaman tertentu, ada pihak yang memberikan manfaat juga untuk kehidupan manusia. Ia menyatakan konteks tersebut perlu dilihat sebelum lanjut ke arah pidana.
Namun menurutnya bila ada yang melaporkan hal ini kepada pihak berwajib, tentu itu adalah hak konstitusional setiap warga Negara. Meski demikian, alangkah baiknya, aparat penegak hukum perlu mengadakan pembicaraan atau pertemuan kedua belah pihak untuk bisa memahami satu sama lain.
"Memang pelaporan itu adalah hak konstitusional setiap warga Negara tapi jangan sampai juga kita membatasi hak warga lainnya. Sehingga saya kira tidak ada salahnya aparat hukum panggil kedua pihak untuk mengadakan satu forum dan klarifikasi yang nantinya berujung tak ada pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya," pungkasnya.
Menurutnya, pelaporan Sukmawati Soekarnoputri adalah bentuk dari KUHP yang masih mengandung makna multitafsir sehingga dapat diartikan secara subjektif. Tak sekedar persepsi subjektif, namun juga bisa dimanfaatkan untuk melakukan kriminalisasi ataupun persekusi pada pihak tertentu.
"KUHP Indonesia masih abu-abu dimana definisi delik penghinaan agamanya dapat didebatkan objek dan siapa yang mewakili 'orang terhina' tersebut. Sehingga dalam reformasi KUHP, saya meminta pasal itu dicabut karena potensial ditafsirkan secara subjektif dan legitimasi untuk menekan orang lain dan peristiwa Sukmawati menjadi contohnya," pungkasnya.
Ia menyampaikan tidak secara substansial, kasus Sukmawati Soekarnoputri tidak masuk dalam level hukum ataupun pidana. Bila memang ada yang merasa dirugikan, masuk saja dalam laporan perdata dan dijelaskan kerugian yang diperoleh, jadinya tidak perlu masuk penjara.
Sebelumnya dalam diskusi bertajuk Bangkitkan Nasionalisme Bersama Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Terorisme, Senin (11/11) lalu, Sukmawati Soekarnoputri mempertanyakan peran Nabi Muhammad SAW dalam merebut kemerdekaan Indonesia dibandingkan Soekarno.
Melihat hal tersebut, Koordinator Bela Islam (Korlabi) melaporkan ke Polda Metro Jaya dengan dengan Pasal 156A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP dan tertuang dalam laporan nomor LP/7393/XI/2019/PMJ/Dit.Reskrimum pada 15 November 2019 lalu.