Jakarta, Gatra.com - Kasus penggelapan uang jamaah First Tavel kembali menyita perhatian publik, tidak terkecuali bagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Selain mengucapkan keprihatinan mendalam, LPSK juga menawarkan beberapa solusi agar setidaknya derita jemaah dapat sedikit teratasi.
Kasus First Travel memasuki babak baru setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Dalam putusannya, majelis hakim memutuskan seluruh barang bukti sitaan dari pelaku dikembalikan negara.
Menyikapi perihal itu, Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu, menyatakan kurang sependapat bila barang bukti dan seluruh sitaan sepenuhnya digunakan untuk kepentingan negara. Sebab menurutnya, neggara tidak sedikit pun dirugikan akibat peristiwa ini. Justru jamaah korban penggelapan uang lah yang mengalami penderitaan berat.
“Negara tidak boleh mengambil keuntungan dari kasus ini, justru hak-hak korban yang harus dipikirkan. Bayangkan, selain sudah menderita kerugian berupa materi yang tidak sedikit, terkadang korban juga mengalami penderitaan psikis akibat terpaan rundungan sosial dari lingkungan sekitar karena gagal umrah. Bahkan yang menyedihkan jika ada korban yang jatuh sakit karena memikirkan kegagalan mereka berangkat ke Tanah Suci,” ujar Edwin kepada Gatra.com, Sabtu (16/11).
Untuk itu, LPSK menawarkan beberapa solusi yang diharapkan dapat menjadi pertimbangan pemerintah. Pertama, LPSK mengusulkan agar para korban First Travel melakukan pendekatan ke pemerintah melalui Kejaksaan Agung dan Menteri Keuangan untuk meminta seluruh aset yang disita pemerintah dikembalikan kepada seluruh korban.
Kedua, korban bisa mengajukan ganti kerugian kepada pelaku melalui pengajuan restitusi ke pengadilan. Untuk hal ini, LPSK dapat memfasilitasi bila korban mengajukan permohonan. Namun kata Edwin, dua tawaran solusi ini juga berpotensi menimbulkan masalah baru.
Menurut Edwin, sulitnya mengindentifikasi, verifikasi, dan melakukan kompilasi terkait data jumlah korban yang tersebar di seluruh Indonesia, bukti kerugian, dan proses administrasi lainnya menjadi tantangan sendiri yang tidak mudah dijalankan.
Selain itu, lanjut Edwin, jumlah aset yang disita tidak sebanding dengan nominal kerugian yang diderita korban. Bila aset itu dibagikan rata kepada korban, tentu nilainya menjadi kecil dan belum tentu seluruh korbannya ikhlas menerima.
Oleh karena itu, LPSK menawarkan opsi ketiga sebagai jalan tengah dengan mendorong pemerintah agar pemanfaatan aset sitaan kasus First Travel dapat digunakan sebagaimana tujuan para korbannya, yakni beribadah. LPSK menyarankan para korban meminta Kejaksaan Agung dan Kementerian Keuangan agaraset first travel yang disita digunakan membangun rumah ibadah berupa masjid dan musala di beberapa titik tempat para korban berasal.
“Masjid atau musala yang dibangun dengan menggunakan aset itu sepenuhnya atas nama korban, amal jariyahnya pun tidak terputus dan akan terus mengalir pahalanya bagi korban. Selain itu, masjid atau musala yang dibangun bisa menjadi monumen pengingat agar masyarakat tidak lagi ada yang menjadi korban serupa di masa yang akan datang,” ujarnya.