Jakarta, Gatra.com - Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), defisit neraca perdagangan Indonesia selama Januari-Oktober 2019 sebesar US$1,78 miliar (y-o-y). Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan defisit pada Januari-Oktober 2018 sebesar US$5,57 miliar.
Namun, berkurangnya defisit tersebut didorong oleh kemerosotan nilai impor yang lebih besar dibandingkan penurunan ekspor. Nilai impor turun sebesar 9,94%, sedangkan ekspor hanya turun sebesar 7,80%.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian, Iskandar Simorangkir mengamati pola yang terjadi di Indonesia. Menurutnya, impor akan turun mengikuti penurunan ekspor karena nilai impor Indonesia sebagian besar disumbang oleh bahan baku. Hal ini terlihat dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang stabil di kisaran 5% sejak kuartal I tahun 2018.
"Selisih penurunan riil [ekspor dan impor] kan masih dua persen. Itu kan tipis. Berarti domestic demand-nya malah tinggi, keserap industri dalam negeri," tuturnya dalam Forum Merdeka Barat 9 di Jakarta, Jumat (15/11).
Kepala Pusat Kajian Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Hidayat Amir menambahkan, aktivitas ekspor-impor tidak hanya dipengaruhi permintaan dan penawaran global, tetapi juga situasi politik.
Selanjutnya, hal ini menyebabkan lonjakan impor pada tahun 2018. Ini diakibatkan oleh pengisian stok barang para pengusaha untuk kebutuhan Pemilu. Memasuki tahun 2019, impor bahan baku turun karena pengusaha menjual dan memproduksi barang menggunakan stok yang ada sebelumnya. Hidayat menambahkan, stabilnya tingkat konsumsi juga ditopang oleh bantuan sosial yang diberikan pemerintah.
"Kenapa konsumsi masih stabil? Kelas menengah kita tumbuh, sehingga kemampuan ekonomi tumbuh. Apabila ekonomi tumbuh, maka konsumsi tumbuh," ujarnya.