Hong Kong, Gatra.com - Pemerintah Hong Kong diperkirakan akan merilis kondisi ekonominya pada hari Jumat (15/11), yang sudah dipastikan akan masuk ke dalam resesi.
Tidak hanya disebabkan oleh perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat, tapi juga karena protes berkepanjangan yang dilakukan warga Hong Kong di jantung kota selama ini.
Dilansir Reuters, Jumat (15/11), pada Oktober lalu, pemerintah Hong Kong telah merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal III mereka yang telah mengalami penurunan sebesar 3,2 persen, dari periode sebelumnya. Pada kuartal II pun, pertumbuhan ekonomi kota yang dikuasai Cina itu juga telah mengalami kontraksi, dan menjadikan mereka masuk ke status resesi untuk pertama kalinya sejak satu dekade terakhir.
Tidak berhenti di kuartal III saja, para ekonom bahkan telah memprediksi, ekonomi Hong Kong masih akan terus mengalami penurunan hingga akhir tahun ini dan di tahun 2020 nanti. Sebab, perang dagang dan protes panjang, laju keuangan dan perdagangan Hong Kong masih akan terus berada dalam tekanan.
"Kami menganggap protes kekerasan akan berlanjut sepanjang tahun 2020 kecuali pemerintah Hong Kong melakukan sesuatu yang benar-benar istimewa (untuk mengakhiri konflik), yang tampaknya akan dihindari," kata ekonom Tiongkok di ING, Iris Pang.
Pihaknya mengungkapkan, protes di pusat kota yang terjadi sejak lima bulan lalu telah memukul keras sektor ritel, sekaligus menakuti wisatawan, terutama dari Cina daratan yang ingin berkunjung.
Menurut data, jumlah wisatawan dari Cina daratan yang datang ke Hong Kong turun drastis, dari tahun 2018, berjumlah sekitar 80 persen dari jumlah total wisatawan.
Begitu juga dengan penjualan ritel yang telah mengalami penurunan sebanyak 23 persen di bulan Agustus dan kembali anjlok sebanyak 18,3 persen di bulan September. Hal itu dikarenakan tutupnya toko-toko, restoran, pusat-pusat perbelanjaan, dan bisnis lainnya sejak protes muncul.
Selain itu, aktivitas bisnis di sektor swasta pada bulan Oktober, juga mengalami penurunan, bahkan menjadi yang terendah sejak 21 tahun terakhir. Menurut IHS Markit, untuk beberapa bulan terakhir, permintaan dari Cina daratan menurun pada kecepatan paling tajam dalam sejarah survei - yang dimulai pada Juli 1998.
Karena itulah, pusat keuangan paling penting di Hong Kong, dengan total aset perbankan, dana dan manajemen kekayaan bernilai lebih dari US$6 triliun, berada dalam ambang kehancuran.
Untuk mengatasi resesi, pemerintah telah mengeluarkan langkah-langkah stimulus sejak Agustus lalu, namun karena dipaksa mempertahankan tingkat cadangan yang tinggi dengan patokan dolar Hong Kong ke greenback AS, paket-paket kebijakan pemerintah, tidak berjalan efektif.
Analis juga meragukan efektivitas handout, karena ketidakpastian mencegah bisnis dan konsumen dari pengeluaran dan investasi, dan penutupan toko akan menyebabkan hilangnya pekerjaan.
"Mengingat betapa buruknya sentimen, kami tidak mengharapkan stimulus memiliki dampak yang berarti sampai kerusuhan politik berhenti. Tapi kami berharap lebih banyak stimulus akan diluncurkan di masa depan," kata ekonom senior di Oxford Economics, yang memprediksi kontraksi 1,5% dalam PDB untuk 2019, Tommy Wu.