Palembang, Gatra.com – Keinginan Provinsi Sumatera Selatan menjadi lumbung energi masih dihadapkan jalan berliku. Meski kaya dengan energi fosil yakni gas dan minyak bumi, provinsi di bagian selatan Pulau Sumatera ini juga pernah memproduksi energi terbarukan, biodiesel pada 12 tahun yang lalu.
Pada tahun 2007, di Desa Kotabaru Selatan kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumsel berdiri pabrik biodiesel sebagai energi rendah karbon atas program Kementrian Riset dan Teknologi (Kemenristek-Dikti). Setahun setelahnya pabrik ini, diresmikan. Sayangnya, pabrik dengan kapasitas 6 ton/hari berbahan baku tanaman jarak pagar (Jatropha Curcas) tidak berumur panjang.
Industri biodiesel berinvenstasi pabrik Rp5 miliar yang dilengkapi fasilitasnya mencapai Rp8,5 miliar pernah ditetapkan sebagai pilot project biodiesel di Indonesia. Industri energi ini pun telah mencandangkan 2.000 ha lahan guna menanam tanaman jaraknya. Dari tiga unit mesin pengolah biji jarak berkapasitas masing-masing 2 ton, mampu memproduksi biodiesel sekitar 106,5 ton Jatropha Curcas Oil (JCO)/hari. Produksi ini dinyatakan mampu memasok sebagian kebutuhan bahan bakar minyak bagi kabupaten OKU Timur, yang peruntukkannya diprioritaskan bagi peralatan pertanian seperti penggilingan padi, traktor dan kebutuhan kendaraan lainnya.
Saat dikenalkan pada masyarakat saat itu, pemerintah daerah menjamin harga beli bahan baku dengan harga menguntungkan. Hasil produksi minyaknya juga dipasok ke PT. PLN WS2JB sebagai tambahan energi bagi Sumsel.
Belum mencapai lima tahun berproduksi, pabrik mengalami defisit produksi karena bahan baku yang tidak lagi diperoleh dari petani apalagi harga bahan bakar minyak bumi sempat turun sehingga masyarakat kembali menggunakan energi konvensional tersebut.
Pada rapat yang diselenggarakan di Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbagda) Sumsel, Rabu (14/11) kemarin, diketahui pemerintah kembali akan menghidupkan pabrik ini. “Pabrik biodiesel itu akan kembali dioperasionalkan dengan bahan baku diubah menjadi Crude Palm Oil (CPO) sawit,” ujar Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Aprian, saat dikonfirmasi Gatra.
Sebagai persiapannya, pemerintah provinsi Sumsel bersama Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) kini tengah melakukan studi kelayakan guna menghitung besaran investasi menghidupkan pabrik biodiesel tersebut.
Berbicara soal biodiesel, Rudi mengatakan Provinsi Sumsel berpotensi dalam energi tersebut, terutama yang berasal dari tanaman sawit. Pilihan ini juga untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD). Konsumsi Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai energi baru terbarukan di Indonesia masih rendah yakni tidak mencapai 10% dari total konsumsi energi.
“Sementara Indonesia telah menyandang predikat penghasil CPO terbesar di dunia. Indonesia memiliki produksi biodiesel mencapai 2 juta kilo liter/tahun dan akan meningkat menjadi 5 juta kilo liter/tahun. Biodiesel memang akan memimpin dan Sumsel belum berperan penuh, jika berperan optimal maka produksi biodiesel terbesar tersebut akan terealiasiasi,” terang Rudi seraya menyatakan tanaman sawit di Sumsel sebagai salah satu sumber daya alam unggulan daerah dengan potensi produksi biodiesel besar.
Mengacu pada data komoditas sawit di Sumsel, Dinas Perkebunan mencatat luasan tanaman sawit Sumsel mencapai 1,1 juta ha pada tahun 2018. Dari luasan itu, terbagi atas 183.572 ha ialah milik masyarakat (swadaya), seluas 700.772 ha ialah milik perusahaan, dan 299.871 ha merupakan bentuk kemitraan plasmanya.
Dengan luasan itu, produksi sawit pertahun di Sumsel mencapai 3,8 juta ton dengan produksi swadaya 907 ribu ton, sedangkan perusahaan mencapai 1,5 juta ton dan plasma hampir 1,3 juta ton. Dari luasan kebun swadaya masyarakat dan plasma perusahaan sawit, pemerintah mendata terdapat 220.035 masyarakat petaninya.
Dalam perjalanannya, komoditas ini juga menghadapi berbagai kendala, terutama produktivitas. Bupati Musi Banyuasin, Dodi Reza Alex pernah menyatakan usia tanaman sawit sangat mempengaruhi produksi, sehingga upaya replenting sangat diperlukan guna menjaga keseimbangan produksi dalam jangka menengah dan jangka panjang.
Sebagai kabupaten dengan kebun sawit mencapai seluas 313.125 ha (2018), dan dominasi lahan perusahan yang mencapai 193. 174 ha, maka produksi sawit kabupaten mencapai 1,2 juta ton atau dengan produksi rata-rata 6,23 ton/ tahun. Di kabupaten OKU Timur yang juga pernah berdiri pabrik biodiesel tersebut memiliki produksi rata-rata yang sama yakni 6,23 ton/tahun sawit namun luasan lahan lebih rendah dari Muba.
Pilihan Biodieselnya Sawit
Seiring dengan itu, jika merujuk peta pengembangan energi biodiesel pada 2008 lalu, pemerintah sudah mengenalkan biodiesel B2,5-B7,5 yang diperkuat Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 32 tahun 2008 mengenai Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati sebagai bahan bakar lainnya. Biodiesel B2,5-B7,5 ialah biodiesel dengan konsentran tambahan 2,5%-7,5% dari tanaman (nabati) dan sisanya masih mengandalkan energi fosil.
Menginjak tujuh tahun setelahnya, pemerintah meningkatkan konsentran tersebut menjadi B10-B15 yang tentu sumber bahan bakunya, yakni CPO sawit. Peningkatan konsentrat ini pun didukung atas perubahan ketiga Permen ESDM nomor 32 tahun 2008 yang mengatur pentahapan mandotari BBN termasuk sosialisasi sekaligus menggelar roadshow B20 rute Sumatera-Jawa dan Bali.
Dua tahun setelahnya, implementasi B20 dengan mandatori pencampuran konsentrat 20% BBN bagi sektor subsidi (PSO) melalui insentif Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan tidak mendapatkan insentif bagi non PSO.
Langkah lanjutan dilakukan pemerintah tahun lalu, dengan meresmikan perluasan insetif biodiesel ke non PSO terhitung 1 September sekaligus persiapan B100 guna mengujian B30 pada tahun depan. Pemerintah menargetkan alokasi biodiesel (FAME) pada 2020 mencapai 9,5 juta kiloliter dan menunjuk PT. Pertamina (Persero) dengan alokasi 8,3 juta kilo liter. Sementara PT. Pertamina juga telah bersiap dengan 27 lokasi penerima FAME dan pencampuran biodiesel B20, yang diantaranya berada di Plaju, Sumsel.
Pada awal November lalu, PT. Pertamina Unit Pengelolaan (RU) III menyatakan mempersiapkan (upgrading) produksi solar biodiesel B25. Persiapan ini pula menuju target biodiesel B30 pada awal tahun 2020. Region Manager Communication and CSR Sumbagsel, Rifky Rakhman Yusuf mengatakan pada saat ini, Pertamina RU III telah memproduksi biodiesel B20 sesuai dengan roadmap yang ditetapkan sekaligus persiapan target biodiesel B30 pada tahun depan.
“Biodiesel B20 merupakan produk turunan CPO atas pencampuran 80% solar yang merupakan bahan bakar fosil bersama 20% Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang berasal dari sawit. Saat ini masih sesuai on proses produksi dan keinginannya B25 menuju target tahun depan B30,” ujarnya.
RU III memiliki kapasitas pengeloan mencapai 20 ribu barel perhari dengan produksi 64.500 green gasoline dengan nilai oktan 90, dan 11.000 ton/bulan green elpiji. Dari inovasi ini, PT RU III menyatakan mampu menghemat impor 7,36 ribu barel/hari atau sekitar 160 juta US dollar/tahun.
Hadapi Tantangan
Pilihan energi biodiesel tanaman sawit juga masih hadapi jalan berliku. Meski semangat B20 berimbas pada serapan pasar lokal komoditas sawit, terutama Sumsel dengan luasan tanam yang besar, biodiesel sawit ditargetkan mampu memperoleh tambahan devisa hasil dari pengurangan impor bahan bakar fosil. Namun perbaikan atas industri B20 masih harus dilaksanakan.
Misalnya, masyarakat sipil di Sumsel mengoreksi mengenai prinsip pembangunan sawit berkelanjutan yang dengan menjalankan politik hijau, melalui komitmen No Deforestation, No Peat Development and No Explaitation (NPDE).
“Kebijakan ekonomi berkelanjutan hendaknya mengoreksi perusahaan sawit pemasok B20 ke PT. Pertamina agar berkewajiban menjaga lingkungan atau tidak mengalami (terlibat) kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang menyebabkan kerusakan lingkungan,” ujar Direktur Perkumpulan Hijau Sumsel, Hadi Jatmiko, belum lama ini.
Di sisi lain, produksi B20 masih dihadapkan pada tantangan sebagai energi bersih yang mampu menggantikan solar minyak bumi. Di Politeknik Negeri Sriwijaya (Polsri), kini telah dikembangkan prototipe reaktor untuk memproduksi Solar Hijau (Green Diesel) dari minyak nabati, khususnya CPO.
Dua peneliti Polsri, Dr. Martha Aznury dan Ahmad Zikri, M.T., menjelaskan temuannya merupakan produk teknologi penelitian terapan Kemenristekdikti ini mampu menciptakan gugus karbon alkana hidrokarbon yang sama dengan solar minyak bumi, sehingga di dalam pemakaiannya di mesin bakar, green diesel dapat secara langsung dipakai sebagai bahan bakar tanpa harus dicampurkan dengan solar minyak bumi. “Teknologi produksi green diesel dari minyak nabati ini sudah banyak berkembang di luar negeri, namun di Indonesia baru beberapa riset yang diarahkan ke kajian tersebut. Penelitian kami memodifikasi proses agar produksi lebih optimum, dan kelanjutan penelitian ini di tahun berikutnya akan lebih diarahkan ke proses yang kontinyu,” terang Martha.
Menurutnya, pengembangan bioenergi lebih diarahkan untuk memanfaatkan komoditas tanaman sawit. Apalagi, pemerintah makin mendorong penciptaan B100 sebagai energi masa depan. "Temuan ini mampu mengkonversi minyak nabati menjadi solar, sehingga dapat diistilahkan green diesel. Konsep green diartikan sebagai sumber daya bukan dari energi konvensional lagi atau lebih berkonsep lingkungan,” ungkapnya.
Peneliti Ahmad Zikri menjabarkan metode di dalam mengkonversi minyak nabati menjadi bahan bakar dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yakni menggunakan reaksi trans esterifikasi, yaitu menkonversi minyak nabati menjadi biodiesel yang saat ini banyak berkembang melalui reaksi transesterifikasi. Namun produk yang dihasilkan bukanlah senyawa alkana hidrokarbon, sehingga masih memiliki kelemahan di dalam pemakaiannya sebagai bahan bakar pengganti solar minyak bumi.
“Dengan kandungan metil ester, memang tidak bisa langsung digunakan pada mesin pembakaran solar, dan harus terlebih dahulu dicampurkan dengan solar minyak bumi, seperti halnya B20. Oleh karenanya, disaat biodiesel dicampurkan dengan rasio lebih tinggi, maka kemungkinan banyak gangguan pada proses pembakaran di mesinnya,” terangnya.
Metode yang kedua, adalah dengan proses proses perengkahan dan hidrogenasi minyak nabati, dan metode inilah yang dapat menghasilkan green diesel. “Prototipe reaktor green diesel yang telah kami konstruksi berkapasitas 2 liter bahan baku minyak nabati, masih berskala produksi laboratorium pendidikan. Dari bahan baku CPO 2 liter, dihasilkan setidaknya 1,2 liter green diesel, dan senyawa energi lain sebagai produk sampingnya,” ungkapnya.