Jakarta, Gatra.com - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia menuturkan, dari 37 perusahaan yang mendapat izin pembangunan smelter, baru sembilan perusahaan yang mendapat lampu hijau untuk mengekspor bijih nikel. Selanjutnya, sebanyak dua perusahaan masih dalam proses pengecekan. Sedangkan, 26 perusahaan masih belum ada kejelasan.
"Sampai dengan sekarang belum ada konfirmasi untuk mereka [26 perusahaan] mau ekspor. Setelah diverifikasi, sembilan oke, enggak ada lagi keberatan," ujarnya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (12/11).
Namun, tidak ada keterangan apakah 37 perusahaan yang mendapat izin pembangunan smelter tersebut memiliki tambang nikel atau tidak. Selain itu, Bahlil enggan mengumumkan beberapa nama perusahaan tersebut.
"Yang masih ekspor ore [bijih nikel] itu hanya yang lolos verifikasi dan yang tidak melakukan ekspor karena kesadaran dan menjual ke smelter," tambahnya.
Perusahaan tambang nikel dan smelter telah menyepakati batas harga penyerapan bijih nikel sebanyak US$30/metrik ton FOB (Free on Board) yang tidak termasuk biaya pengangkutan atau transhipment dan biaya tambahan lainnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan, sisa kuota ekspor hingga akhir tahun masih ada sekitar 7-8 juta ton.
"Kami sedang ada kegiatan koordinasi dengan daerah dimana daerah mendata berapa total kebutuhan input ore smelter [pemurnian bijih]," jelasnya.
Meidy menambahkan data kebutuhan tersebut akan disandingkan dengan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di tingkat pusat dan provinsi. Terutama dilakukan di tiga sentra produksi nikel seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
"Kalau terjadi balance tidak ada over supply," katanya.
Menurut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 1 tahun 2017 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian, bijih nikel hanya dapat diekspor apabila telah memanfaatkan nikel dengan kadar kurang dari 1,7% atau paling sedikit 30% dari total kapasitas input. Selain itu, perusahaan juga harus sedang membangun fasilitas pemurnian (smelter).