Jakarta, Gatra.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengapresiasi aparat penegak hukum yang menangani perkara KDRT yang menimpa 2 orang kakak beradik yang menjadi Asisten Rumah Tangga (ART), terutama majelis hakim PN Gianyar yang memvonis pelaku dan mengabulkan restitusi (ganti rugi dari pelaku kepada korban) bagi korban.
Diketahui, kedua ART tersebut mendapat siksaan selama Juli 2018 sampai Mei 2019, saat bekerja di rumah pelaku Made Desak Wiratningsih di Gianyar.
"Akibat perbuatan pelaku dan Security rumah pelaku, kedua korban mengalami luka parah yakni luka lebam dan kulit melepuh akibat disiram air panas," kata Wakil Ketua LPSK, Susilaningtyas kepada Gatra.com, (12/11).
Menurut Susilaningtyas, selain menjalani siksaan fisik, kedua korban juga diancam akan dihabisi keluarganya jika melaporkan peristiwa yang dialaminya. Namun atas kebaikan tukang ojek dan sejumlah masyarakat sekitar, yang memberikan pertolongan, kasus ini ditangani Polda Bali.
LPSK secara proaktif menawarkan perlindungan kepada kedua korban.
"LPSK mengapresiasi peran serta masyarakat dan juga penanganan dari aparat penegak hukum yang sangat membantu korban", ujarnya.
Dari laporan tersebut Polda Bali menetapkan Made Desak Wiratningsih dan seorang penjaga rumah pelaku bernama Erik. Dari proses persidangan terungkap peran masing-masing pelaku tyakni pelaku Erik lebih dahulu divonis dengan pidana 5 tahun penjara. Sedangkan pelaku Made Desak Wiratningsih dihukum 6 tahun penjara dan restitusi (ganti rugi untuk korban) sebesar 42 juta rupiah, subsider 3 bulan penjara.
LPSK memandang vonis kedua pelaku sangat berperspektif korban khususnya perempuan. Majelis hakim yang menangani kasus ini telah menjalankan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
"Kedua vonis tersebut kami harapkan memberikan efek jera agar tidak ada korban lain," kata Susilaningtyas.
Secara khusus LPSK juga mengapreasiasi adanya vonis restitusi untuk terdakwa Made Desak Wiratningsih. Dengan adanya restitusi, dapat terlihat bahwa proses peradilan tidak hanya berfokus pada menghukum pelaku, melainkan juga telah memperhatikan kerugian yang dialami korban.
Apalagi, lanjut Susilaningtyas, restitusi tidak diatur spesifik dalam UU KDRT, sehingga adanya restitusi pada vonis perkara KDRT tentunya menunjukkan bahwa majelis hakim memiliki perspektif korban yang baik.
"Kami berharap putusan ini menjadi acuan bagi hakim lain agar memiliki perspektif pemenuhan hak korban khususnya restitusi selain pemenjaraan bagi pelakunya bagi putusan-putusan KDRT lainnya," kata Susilaningtyas.