Jakarta, Gatra.com - Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, William Aditya Sarana dilaporkan warga terkait anggaran lem aibon yang dibeberkannya ke publik melalui media sosial Twitter.
Laporan itu kini tengah diproses Badan Kehormatan (BK) DPRD DKI Jakarta.
William menghadap BK DPRD DKI, pada Selasa (12/11). Ia diminta menjelaskan kronologi dan motif dibalik unggahan dokumen rancangan anggaran DKI.
Kepala BK DPRD DKI Jakarta, Achmad Nawawi menyebut belum akan diputuskan sanksi seperti apa yang akan diterima William. BK masih perlu mengadakan rapat internal dengan tujuan menghasilkan rekomendasi yang nantinya diserahkan ke pimpinan DPRD.
Nawawi mengatakan bahwa ada tiga bentuk sanksi yang bisa direkomendasikan kepada pimpinan dewan sesuai dengan tata tertib yaitu, teguran lisan, teguran tertulis, dan pemecatan.
Meski belum dipastikan, Nawawi menilai sanksi terberat yang mungkin diterima William adalah teguran tertulis.
“Tapi ini pandangan pribadi saya ya, belum tentu menjadi keputusan BK. Menurut saya enggak bakal sampai pelanggaran etik berat, mungkin paling berat pelanggaran tertulis, tapi kan kita juga belum putuskan,” kata Nawawi di Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (12/11).
Diketahui, William telah mengunggah dokumen rancangan KUA-PPAS 2020 dalam akun media sosial Twitter miliknya. Berdasarkan dokumen tersebut, anggaran 'lem aibon' dimasukan sebagai komponen yang ada dalam daftar kebutuhan alat tulis kantor (ATK) dan akan dibagikan kepada 37.500 murid di Jakarta.
Anggaran senilai Rp82,8 miliar itu, masuk dalam anggaran Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta yang belakangan sempat ramai diperbincangkan sejak William membeberkannya.
BK DPRD sebetulnya tak melarang politisi PSI itu untuk bersikap kritis. Hanya saja, kritikan yang dilontarkan lewat media sosial itu berujung polemik sehingga mereka perlu mengkaji bagaimana tindakan yang perlu diambil atas sikap William.
“Memang diingatkan bersama bahwa jangan lupa menurut undang-undang kita (DPRD) itu sejajar dengan Pemprov, sama-sama unsur penyelenggara pemerintahan di daerah. Kritis tetap kita jalankan, bukan berarti tidak boleh. Tetapi, kapan dan di mana kita menyampaikannya kan ada mekanisme,” ujar Nawawi.