Jakarta, Gatra.com - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengajukan pengujian judicial review Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi pada Selasa (12/11).
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, pengajuan ini agar Mahkamah Konstitusi bisa menghapus ketentuan yang tercantum pada Pasal 1 Angka 6 terkait frasa "atau sudah/pernah kawin" serta memberi kepastian hukum terkait dengan pendaftaran pemilih di Pilkada 2020.
"Untuk memperbaiki kualitas pengelolaan tahapan Pemilu dan Pilkada di Indonesia. Kita tahu, misalnya, jika murujuk ke belakang. Ketika ada perselisihan hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, salah satu permasalahan yang sering diangkat adalah soal validitas Daftar Pemilih Tetap (DPT)," ujar Titi di depan wartawan, Jakarta, Selasa (12/11).
Selanjutnya, kata Titi, pemilih yang berusia di bawah 17 tahun masuk di dalam DPT. Namun, terdapat pengecualian bagi warga yang berusia di bawah 17 tahun tetapi sudah menikah, diperbolehkan memilih.
"Praktek di lapangan justru menimbulkan kebingungan ketika menemukan pemilih belum 17 tahun masuk dalam DPT," tambahnya.
Yang kedua, sambung Titi, dalam praktek terkait dengan kualitas tata kelola sistem Pemilu. Menurut Titi, itu akan menyulitkan petugas pemutakhiran data di lapangan, karena mereka harus berurusan dengan standar yang berbeda-beda. "Usia dan juga standar pernah kawin," tambahnya.
"Bagaimana kita mau mencapai keadilan, jika kemudian ada privilege yang seolah-olah bisa didapat oleh anak kalau dia menikah, yaitu hak pilih," jelas Titi.
Tuti menambahkan bahwa pengajuan judicial review ini juga untuk mendorong dan memberikan kepastian hukum di dalam penyelenggaraan Pilkada di Indonesia, sehingga tidak ada lagi ruang diskursus yang akhirnya membuat anak berada pada posisi sebagai objek.