
Solo, Gatra.com - Seni menjadi media penting menuangkan ekspresi bagi setiap orang, termasuk penyandang disabilitas mental. Seni bahkan mampu menjadi sarana terapi dan ajang eksistensi bagi mereka yang berkebutan khusus.
Hal itu mengemuka dalam diskusi ‘Seni untuk Difabel’ di ruang Teater Kecil, kampus Institut Seni Indonesia, Solo, Senin (11/11). Diskusi ini menjadi bagian dari ajang Festival Bebas Batas 2019 yang juga menampilkan pameran seni dan lokakarya bagi para disabilitas.
Seniman Hana Alfikih, yang dikenal sebagai Hana Madness, mengisahkan perjuangannya bangkit dari disabilitas mental melalui seni. “Aku termasuk penyintas disabilitas mental dan kemudian menggunakan seni untuk menjaga kewarasan,” ujarnya.
Ia mengenang, kendati hidup dalam keluarga religius, lingkungannya menjadi tempat bergaul yang buruk. Sewaktu SMP-SMA, Hana mengalami gangguan jiwa yang parah. Saat itu, keluarga belum menerima kondisi itu.
“Aku sempat dianggap kerasukan. Saat itu gangguan mental jadi isu tabu. Tidak mungkin jujur tentang kondisi dan pengobatanku ke teman dan guru,“ kisahnya.
Hingga akhirnya Hana mengenal seni gambar sketsa dan menekuni bidang itu. Ia pun bergabung ke komunitas dan mengikuti pameran untuk mengenalkan karyanya hingga menarik pembeli.
Saat lulus SMA, karya seninya yang sarat warna cerah tapi kuat dalam pesan dijadikan ilustrasi di 500 ribu korek api. “Sejak itu aku mulai terpantik menciptakan pasar dari karyaku. Seni lalu jadi hidupku,” katanya.
Dari situ, sebagaimana kiprahnya di dunia seni, Hana menganggap kondisi disabilitas mentalnya sebagai identitas diri. “Persepsi masyarakat harus digeser bahwa disabilitas mental bukan sebagai cacat atau kekurangan. Pemberitaan di media tentang orang dengan gangguan jiwa selama ini juga selalu menakutkan,” katanya.
Seniman sekaligus pengajar ISI Solo, Theresia Agustina Sitompul atau Tere, berbagi pengalamannya selama empat tahun aktif di mobile art therapy di Yogyakarta. Kegiatan ini menggunakan seni sebagai media terapi bagi penyandang disabilitas dan anak berkebutuhan khusus.
“Layanan ini dilakukan secara jemput bola ke dua SLB tiap tahun dan melatih guru di 20 sekolah per tahun,” tuturnya.
Ia menyatakan kiprahnya sebagai bagian tim kreatif di layanan tersebut tak lepas dari pengalamannya yang pernah depresi. Mendiang adik Tere juga mengalami disabilitas. “Kalau dulu tidak bisa (merawat adik), sekarang saatnya saya menjadi relawan bagi disabilitas sampai nanti saya digantikan generasi muda yang peduli pada isu ini,” ujarnya.
Tere menekankan terapi seni ini amat berbeda dengan kelas seni. “Terapi seni itu tidak menuntut karya harus bagus, tapi membebaskan dan memerdekakan kreativitas,” katanya.
Terapi seni dapat diterapkan melalui berbagai metode seni rupa. Mediumnya pun tak harus mahal, melainkan bisa lewat daur ulang seperti kemasan bekas tempat minum atau talenan. “Seni itu mujarab sekali. Energinya bisa untuk kreativitas,” kata dia.
Ketua Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Ketergantungan Obat Indonesia, Bambang Eko Sunaryanto, menyatakan tak banyak orang dengan gangguan jiwa yang gigih memperjuangkan kondisinya. “Dicap langsung down, frustrasi, malah makin parah,” kata dia.
Untuk itu, penderita disabilitas mental harus menghilangkan dahulu stigma negatif pada dirinya sendiri. “Ini menjadi syarat utama dan mutlak untuk lepas dari gejala disabilitas mental,” kata dia.
Selama ini orang dengan gangguan jiwa tak mampu mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Di sinilah peran seni bagi penyandang disabilitas, yakni melalui seni, perasaan dapat diekspresikan.
Menurut dia, seni membantu meningkatkan derajad kestabilan jiwa, menurunkan stres, membuat perasaan nyaman, meningkatkan rasa percaya diri, dan mengekspresikan diri.
“Seni juga punya peran penting dalam proses penyembuhan orang dengan masalah kesehatan mental, yakni dengan memperbaiki fungsi kognitif, meningkatkan sosialisasi dan penerimaaan sosial,” kata Kepala RSJ Marzoeki Mahdi Bogor ini.