Jakarta, Gatra.com - Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman merasa tidak puas dengan laju pertumbuhan industri makanan dan minuman (mamin) yang hanya mencapai 7,72% pada triwulan III tahun 2019 ini. Menurutnya, potensi industri makanan dan minuman sangat besar.
"Jadi kalau saya lihat industri mamin itu bisa tumbuh double digit ya karena potensinya sangat besar sekali. Saya pelajari data impor [di beberapa] negara besar, di Amerika Utara dan Selatan, Afrika, Eropa dan Australia, saya lihat impor mereka untuk mamin itu sangat besar sekali," katanya di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (11/11).
Ia menyebutkan, kontribusi ekspor industri makanan dan minuman Indonesia masih kalah jauh dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand. "Kecil sekali, bahkan ada yang hanya di bawah 2%. Paling besar hanya 6%-7% saja," ucapnya.
Padahal, potensi industri makanan dan minuman Indonesia lebih besar dari beberapa negara ASEAN. Sayangnya, daya saing produk industri makanan dan minuman dalam negeri masih jauh di bawah negara lain.
"Ini yang harus kita akui, bagaimana memperbaiki daya saing kita. Salah satunya terkait regulasi. Makanya presiden minta memperbaiki regulasi yang menghambat," ujarnya.
Selain itu, lanjut Adhi, biaya logistik dalam negeri juga menjadi dalah satu faktor penghambat laju pertumbuhan industri makanan dan minuman. Pasalnya, biaya logistik mencapai sekitar 24% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Selanjutnya, Upah Minimum Pekerja (UMP) juga dinilai menjadi faktor penghambat pertumbuhan industri makanan dan minuman. Ia menyebut, di negara ASEAN, kenaikan UMP terbilang sangat kecil.
"Bahkan beberapa negara tidak naik sama sekali setiap tahunnya seperti Indonesia. Kami sepakat pekerja itu harus meningkat pendapatannya, tetapi produktivitasnya juga harus ditingkatkan agar cost per unit-nya itu menjadi murah," pungkasnya.