Home Ekonomi Surat Kedua Untuk Presiden Jokowi

Surat Kedua Untuk Presiden Jokowi

Pekanbaru, Gatra.com - Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) kembali menyurati Presiden Jokowi.

Organisasi para petani kelapa sawit ini memohon supaya Presiden Jokowi menunda penandatanganan Peraturan Presiden tentang Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Ini menjadi permohonan kedua yang dilayangkan Apkasindo setelah Agustus lalu sudah melayangkan surat permohonan yang sama.

"Kalau Perpres itu sudah diteken dan berlaku, maka sama artinya dengan menyingkirkan sawit rakyat. Sebab Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sudah tidak lagi boleh membeli Tandan Buah Segar (TBS) sawit rakyat yang legalitasnya belum lengkap," cerita Gulat kepada Gatra.com, Sabtu (9/11).

Dan kalau sawit rakyat sudah tersingkirkan, potensi munculnya konflik sosial di daerah penghasil TBS akan besar lantaran sampai saat ini, dari sekitar 14,3 juta hektar kebun kelapa sawit di Indonesia, 6 juta hektar adalah milik rakyat.

"Ada sekitar 2,5 juta rakyat yang resah oleh rencana Perpres ISPO tadi. Sebab mereka tak akan bisa lagi memenuhi kebutuhan hidup, tak bisa akses ke perbankan dan yang lebih parah lagi, mereka sekarang menjadi bulan-bulanan sederet oknum. Sawit mereka disebut ilegal lantaran berada di kawasan hutan," ujar Gulat.

Semestinya kata kandidat doktor lingkungan ini, Peraturan Menteri Pertanian nomor 19 tahun 2011 dan Peraturan Menteri Pertanian nomor 11 tahun 2015 masih sangat relevan.

"Sebab di Permentan itu, hanya perusahaan yang wajib ISPO, sementara petani masih bersifat sukarela. Namun di Perpres, petani sudah wajib ISPO. Sementara salah satu syarat ISPO adalah lahan petani tidak boleh berada di kawasan hutan," ujar Gulat.

Gulat kemudian mempertanyakan seurgent apa Perpres ISPO itu dibikin. Sebab dalam kurun waktu 2011-2019 saja, perusahaan yang mengantongi ISPO masih hanya di angka 30 persen.

"Ada sekitar 2000 perusahaan kelapa sawit di Negeri ini. Ini berarti baru sekitar 600 perusahaan yang sudah ISPO. Yang lainnya gimana?," Gulat bertanya.

Alangkah lebih baik kata Gulat, ISPO perusahaan diberesi sembari pemerintah juga memberesi persoalan kebun kelapa sawit petani di kawasan hutan (pra kondisi).

Gulat tak menampik bahwa sudah ada sederet regulasi yang dibikin untuk menyelesaikan persoalan tanah di kawasan hutan tadi. Tapi aturan main itu bukan malah menyelesaikan persoalan, tapi justru membikin gaduh.

"Jadi, kami sangat berharap Presiden Jokowi mau hadir langsung menyelesaikan persoalan kami ini. Kalau persoalan ini sudah beres, wajib ISPO itu tidak akan lagi menjadi persoalan di kalangan petani, khususnya petani yang terdampar di klaim kawasan hutan itu," katanya.

Asosiasi petani kelapa sawit lain seperti ASPEKPIR, SAMADE sangat mendukung dan setuju terhadap apa yang dilakukan oleh Apkasindo, sebab persoalan kawasan hutan bukan hanya persoalan Apkasindo, tetapi juga semua manusia yang hidup dan bergantung dari sawit. Baik itu secara langsung maupun tidak langsung.

"Kalau kebun petani yang diklaim masuk dalam kawasan hutan sudah dienclave, enggak jadi soal ISPO itu wajib," kata Ketua Umum SAMADE, Tolen Ketaren.

Tapi kalau belum dienclave kata Tolen, lebih baik Rencana Perpres ISPO itu ditunda dulu. Pemerintah harus turun tangan membebaskan lahan yang sudah ada tanamannya, bukan malah aparat berseragam yang datang.

"Di Riau, petani sudah kena panggil-panggil terus. Berkebun sudah tidak nyaman. Pada sebagian petani, biar mereka berasa nyaman meski sesaat, apa lagu permintaan oknum itu ya diturutilah. Mau gimana lagi," ujarnya.

Tolen sangat berharap pemerintah meninjau kembali draft Perpres ISPO itu. "Dan kami semua organisasi petani sudah sepakat memintah itu ditinjau ulang," katanya.

Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kemenko Perekonomian, Musdhalifah Machmud menyebut, ISPO hanya tentang sertifikat pengelolaan kebun sawit. "Kalau yang di dalam kawasan hutan, itu diatur oleh Perpres PPTKH, tidak diatur dalam ISPO," katanya kepada Gatra.com.

Memang kata Musdhalifah, salah satu syarat sertifikat ISPO itu adalah lahan tidak di kawasan hutan. "Tapi soal bagimana lahan itu, bukan diputuskan di ISPO. Itulah makanya kita ada yang namanya Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB). Di RAN-KSB inilah nanti proses tata kelola itu difasilitasi," ujarnya.

Lantas, apakah Perpres ISPO tidak akan menjadi bumerang ketika klaim kawasan hutan tak kunjung kelar? "Kenapa jadi bumerang? Untuk persoalan lahan, kan sudah ada Perpres tentang Penyelesaian Persoalan Tanah di Kawasan Hutan (PPTKH) dan Inpres 8 tahun 2018. Itu yang menjadi tools untuk tumpang tindih lain dan ISPO adalah tools untuk keberlanjutan kelapa sawit," katanya.

Gulat sendiri justru menyangga apa yang dikatakan Musdhalifah itu. "Penyelesaian persoalan sawit tidak boleh setengah-setengah. Jangan lah bikin dulu peraturannya, persoalan di belakang. Ini sama saja menjebak Presiden. Hati-hati, lho," pinta Gulat.

Sudah jelas-jelas kata Gulat bahwa persyaratan utama ISPO itu adalah sawit harus non kawasan hutan, "Sementara lebih dari separo petani masih terjebak dalam kawasan hutan, Saya ini auditor ISPO lho, jadi tau persis ke mana arah 'permainan' itu," tegasnya.

 

1330