Jakarta, Gatra.com - Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin mengaku pihaknya menemui kendala dalam penyusunan rencana pembangunan bandar antariksa kecil di Pulau Biak, Papua. Kendala yang paling menonjol itu adalah soal lahan.
Thomas mengatakan, lahan untuk pembangunan bandar kecil itu seluas 100 hektar. Luas itu dianggap kecil untuk menerbangkan roket kecil bertingkat. Saat ini, LAPAN dan Pemda Papua masih mencari cara untuk memperluas lahan
"Dari segi ketersediaan lahan itu akan dibantu oleh Pemda. Peluncuran roket itu kira-kira ada daerah utamanya dan ada buffernya. Dan itu yang memang di daerah buffer, ada bentukannya. Dapat menjadi masalah tersendiri," kata Thomas di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Rabu (6/11).
Sebelum Biak, Thomas memaparkan bahwa pihaknya melakukan kajian ilmiah untuk memilih tempat pembangunan bandar itu sejak 1980-an. Adapun kandidat daerahnya ialah Pulau Enggano di Bengkulu, Pulau Nias di Sumatera Utara dan Pulau Biak di Papua.
"Akhirnya tahun 2018 diputuskan yang terpilih Biak karena derajat lintang selatannya (cocok). Kemudian dari segi infrastruktur yang sudah ada, bandara, juga fasilitas pendukungnya itu relatif lebih lengkap dibandingkan dengan wilayah operasi yang lain," paparnya.
Thomas meyakini proyek tersebut bakal rampung pada 2024 mendatang, jika anggarannya memang memadai. Setidaknya pada tahun itu bandar kecil tersebut bisa melakukan uji terbang roket bertingkat.
Lebih lanjut, Thomas mengatakan bahwa LAPAN tak mampu bekerja sendiri dalam mewujudkan proyek itu. Adapun pihak yang dilibatkan, antara lain Pemprov Papua, Pemkab Biak Numfor dan Universitas Cendrawasih.
"Karena kami telah menggandeng akademisi Cendrawasih untuk mendukung aspek kajian-kajian persiapan termasuk AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)," tandasnya.