Sleman, Gatra.com - Permaisuri Keraton Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, mempersilakan Malaysia dan negara-negara lain meniru batik Indonesia. Ia yakin, dengan memberi kebebasan negara lain itu, nuansa Indonesia akan hadir di produk yang mereka buat.
Hal ini disampaikan GKR Hemas bersama Raja Permaisuri Agong Tuanku Hajah Azizah Aminah Maimunah Iskandariah saat berkunjung ke-26 usaha kecil menengah produsen tekstil di Simposium Kain Tradisional (Wastra) ASEAN ketujuh di Hotel Royal Ambarrukmo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (5/11).
“Permaisuri Malaysia sudah lama suka batik. Biasanya jika ada pameran dia lihat desain dan motif batik, kemudian dikembangkan di sana. It's OK,” kata GKR Hemas.
Bagi istri Gubernur DIY ini, tak masalah jika motif batik ditiru karena tetap akan ada perbedaan pada selera dan teknik pembuatannya. Ia lantas mencontohkan kebanyakan motif yang dikembangkan dan disukai permaisuri Malaysia didominasi motif kontemporer.
Sedangkan dari teknik, GKR Hemas yakin, Malaysia atau negara lain tidak akan bisa menggunakan canting untuk menggoreskan malam selihai perajin batik Indonesia. Contohnya, saat membuat motif titik, perajin Malaysia biasanya membuat titik sebesar telur.
“Sakgedhe endok, endok cecak (sebesar telur, telur cicak) maksudnya. Tapi secara keseluruhan produk, baik batik maupun tenun, yang dipamerkan tahun ini sudah bagus, baik dari segi bahan, pewarnaan, motif, maupun model. Semua mengikuti perkembangan zaman tanpa meninggalkan nuansa tradisonalnya,” ujarnya.
Menurut dia, akan lebih baik jika banyak negara, tidak hanya di ASEAN, mencontoh motif batik Indonesia. Sebab hal ini mengenalkan nuansa Indonesia di produk mereka.
Menyikapi tantangan di bidang tekstil, anggota DPD DIY ini mengutarakan masalah utamanya adalah ketersediaan bahan bagi perajin batik. Mahalnya kain, menipisnya malam dan perwarna alam, juga sering dikeluhkan perajin.
“Pemerintah harus memperhatikan ketersediaan bahan baku untuk perajin. Sebab hal ini akan berpengaruh pada perkembangan industri tekstil, baik batik maupun tenun Indonesia,” ucapnya.
President The Traditional Textile Arts Society of South East Asia (TTASSEA) Gusti Kanjeng Bendara Raden Ayu (GKBRAy) Adipati Paku Alam X menyatakan Simposium Kain Tradisional (Wastra) ASEAN ketujuh ini berlangsung sampai 8 November.
“Bertema ‘Embrancing Change, Honoring Tradition’, kami ingin memperkenalkan, mempromosikan, sekaligus melestarikan kain wastra di anggota ASEAN sebagai kain tradisional bernilai tinggi,” jelasnya.
Selain diikuti delapan anggota ASEAN, hadir pula perwakilan dari negara mitra seperti USA, Australia, India, Kanada, Korea, Rusia, Selandia Baru, Cina, dan Uni Eropa.
Simposium akan menampilkan 23 pembicara yang merupakan pemerhati wastra dari 16 negara. “Ini adalah event dua tahunan dan Indonesia pada 2004 lalu pernah menjadi tuan rumah,” katanya.
Sesuai jadwal, acara ini direncanakan dibuka oleh Ibu Negara Iriana Jokowi. Namun hal itu urung karena ia menemani Presiden Jokowi ke Thailand untuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-35 ASEAN.