Palembang, Gatra.com – Langkah – langkah kaki petani kopi arabika di Kecamatan Semende, Muara Enim, Sumatera Selatan kini kian tegap. Setelah berhasil menjauhi sistem tengkulak yang mengikat, para petani pun makin berniat mengembangkan kopi dari tanah Sumatera Selatan (Sumsel) ini ke pasar dunia.
Keinginan ini diwujudkan dengan membentuk lembaga keuangan bersama yakni Koperasi Meraje. Dari namanya saja, para petani sudah berniat ingin merajai (menguasai) dan berkeinginan membawa kopi jenis ini lebih dikenal.
Salah satu penggerak koperasinya, ialah Mulustan. Petani asli Desa Pulau Panggung Kecamatan Semenda Darat Laut ini sudah menggerakkan petani-petani di desanya guna membentuk koperasi. Dari awal, koperasi ini diinisiasikan dengan dua tujuan yakni unit kerja primer berupa pembudidayaan dan perdagangan kopi yang menghubungkan para petani dan eksportir, serta usaha sekunder ialah pengembangan dan membina pengelolaan biji kopi setelah panen. Kini, koperasi kopi ini sudah mampu berkembang dan merangkul petani di tiga desa sekitarnya.
Sejak 2017 setelah didirikan koperasi, Mulustan bersama dengan belasan petani di Desa Pulau Panggung mengembangkan kopi arabika, yakni jenis kopi yang masih minoritas dihasilkan petani. Jenis kopi arabika memang tidak seperti jenis robusta yang lebih banyak ditanam oleh petani asal daerah Semende ini dengan kualitas kopi yang tidak kalah bersaing dibandingkan kopi-kopi arabika di Indonesia.
“Kami tengah memfokuskan diri pada kopi arabika dalam beberapa tahun terakhir, karena nilai tambahnya yang lebih tinggi. Membentuk koperasi ialah penguatan kelembagaan, kegotongroyongan antar petani dengan saling bahu membahu memenuhi kebutuhan pengembangan kopi,”ungkapnya kepada Gatra.com, Kamis (30/10) lalu.
Dikatakan Mulustan, pilihan koperasi pada kopi arabika akan lebih memberikan kepastian pasar. Saat ini, pasar kopi internasional tengah membuka ruang yang cukup besar kepada jenis kopi ini, sehingga perlu mendorong masyarakat membudidayakannya. “Dengan persaingan yang kompetitif, masyarakat petani harus bersatu. Kelembagaan mengatur bagaiamana pengelolaan lahan, sampai bagaimana hasil panen berlabuh di pasar internasional,” ungkap dia.
Desa Pulau Panggung merupakan desa penghasil kopi arabika yang sudah lama dikenal sejak komoditas kopi dibawa masuk ke Sumsel. Faktor pendukungnya, ialah topografi desa yang berada di dataran tinggi Sumsel, namun sayangnya, produksi kopinya belum tinggi, “Saat ini saja, produksi kopi arabika dari Semende, baru 10-20 ton/tahun, dengan permintaan lebih tinggi dari itu. Hal ini yang mengilhami berdiri koperasi sebagai lembaga menaungi kebutuhan masyarakat tani, memulai dari peningkatan produksi hingga pasar nantinya,” ujar bapak dua anak ini.
Dia mengatakan, koperasi yang sudah berbadan hukum dan terdaftar di Dinas Koperasi di kabupaten Muara Enim, diinisiasikan oleh 21 petani. Keseluruhan petaninya ialah petani dengan produksi kopi arabika petik merah. Dengan pengembangan ke desa tetangga, para petani berkeinginan, jumlah petani yang menanam kopi arabika lebih banyak dan makin berlembaga. "Petani-petani ini sudah memiliki lahan sehingga biaya diperlukan lebih banyak untuk membeli bibit, stek batang guna menghasilkan bibit arabika. Semua kegiatannya akan satu pintu melaui koperasi," terang dia.
Mengubah Pola Pikir
Menurut Mulustan, pembentukan koperasi diinisiasikannya bertujuan menjadikan petani kopi arabika bisa lebih maju dan mandiri. Jika selama ini, pemahaman koperasi hanya mengharapkan bantuan uang guna dihabiskan (konsumsi), maka diperlukan upaya mengubah pola pikir pikir demikian. Koperasi yang dirikan harus lebih bermanfaat bagi petani mulai dari pembinaan budidaya, penyaluran bantuan sarana produksi seperti bantuan pupuk dan bibit, pengolahan hasil produksi dan kesepakatan pasar penjualan.
“Tidak hanya diberi ikan, namun perlu diberi kail, dan menghasilkan ikan goreng yang bisa dimakan bersama-sama,” ujar Mulustan menganalogikan manfaat koperasi yang sedang dirintiskannya tersebut.
Petani yang tergabung dalam koperasi memperoleh pembinaan terutama agar produksi kopi arabika meningkat, seperti mengatur jarak tanam, pemangkasan, pemupukan dan perilaku budidaya lainnya. Sementara, saat panen, petani diwajibkan memetik buah kopi yang berwarna merah. Koperasi memiliki standar petik yang disepakati guna menjaga kualitas agar bersaing di pasar internasional, yakni buah kopi wajib dipetik berwarna merah.
“Kesepakatan ini menjadi aturan main, agar kualitas kopi dikelola koperasi tetap terjaga. Ini pula yang mengikat petani, agar berbenah dan berubah dari kebiasaan petik asal yang akhirnya mengakibatkan kualitas kopi rendah dan tidak mampu menembus pasar kopi internasional,” terang ia.
Selama dua tahun ini, Mulustan mengakui menghadapi tantangan cukup berat dalam pengembangan koperasi terutama pengaruh watak petani di Sumsel, yang cendrung individual (tidak berkeinginan berkelompok) akan tetapi lambat-laun setelah pembuktian manfaat diterima saat menjadi anggota koperasi maka semakin banyak petani bergabung sekaligus terlibat dalam pengembangan koperasi.
“Selain pembinaan budidaya, anggota koperasi bersepakat membeli mesin-mesin dipakai bersama, seperti mesin pemilah biji kopi yang lumayan mahal, namun dapat dipakai bergantian saat panen tiba. Ini yang perlu dikenalkan pada petani, bahwa berorganisasi lebih besar manfaatnya,”ucapnya.
Sementara di Pagar Alam, kota yang juga menjadi penghasil kopi di Sumsel, salah satu petani kopi, Gerut menceritakan, ia dan kelompoknya juga tengah merintis koperasi dengan komoditas kopi. Akan tetapi koperasi yang dibuat hendaknya mengubah pola pikir yang selama ini terjebak rantai tengkulak dan rentenir. Bersama dengan belasan petani kopi, ia tengah mengkonsep agar koperasi yang dibangun bukan menjadi lembaga keuangan yang malah merugikan petani,
“Jika dulu mind set koperasi itu meminjam sejumlah uang, lalu dikembalikan dengan komoditas kopi dan harus membayar sejumlah uang sebagai selisih waktu pinjaman. Praktek demikian ingin ganti dengan membuktikan bahwa koperasi ialah sokoguru ekonomi. Kami tengah mengupayakan konsep-konsep yang lebih bergotong royong,” terangnya.
Berkaca dari keberhasilan koperasi kopi arabika di Provinsi Aceh, banyak manfaat yang diterima apabila membentuk koperasi dengan komoditas kopi. Salah satu petani kopi Aceh, Alfian menuturkan manfaat menjadi anggota koperasi kopi diantaranya memperoleh pendidikan dan pelatihan bagiamana budidaya kopi, manajemen keuangan, penanganan limbah pertanian, termasuk penanganan hama dan penyakit secara bersama-sama,
”Saat sudah berkelompok, petani akan lebih mudah mendapatkan bantuan alat-alat pertanian, dan terpenting lainnya yakni akan memperoleh sisa hasil usaha setelah bersama-sama mengembangkan koperasinya,” ujar dia dihubungi Gatra.com.
Raih Mimpi Melabuh Pasar Dunia
Saat ini, kopi-kopi sudah dihasilkan petani Semende sudah mulai menyisir pasar kopi nasional dan eksportir kopi di Provinsi Medan, Jakarta, Bandung Sidoarjo, perusahaan eksportir PT. Indocom. Dengan telah masuk ke tangan eksportir, maka peluang kopi Sumsel untuk bisa lebih go internasional akan lebih mudah. Awal bulan ini, kopi semende sudah diikutkan pada berbagai pameran internasional dengan bergandeng pada pihak lainnya, seperti Bank Indonesia.
“Koperasi pun memperluas kerjasama dan sudah beberapa kali dikenalkan di pameran internasional. Sekarang, lagi pameran di Changi Airport Singapura, dan kopi Semendo juga dikenalkan lebih luas di sana,”ungkapnya.
Harga jual dari petani untuk biji petik merah ialah Rp8.000-9.000/kg dengan kualitas baik, lalu koperasi mengelolanya menjadi biji kopi telah dipanggang dengan meningkatkan harga hanya sekitar 10-20% dari harga awal. Dengan kualitas ini, kopi Sumsel akan mampu bersaing dan diterima pasar internasional dengan harga bersaing. Masing-masing eksportir memiliki penawaran harga sesuai dengan kualitas kopinya. Nilai-nilai penawaran pihak eksportir ke koperasi diketahui oleh anggota melalui komunikasi kelompok yang telah dibuat bersama-sama.
“Kami menjual kopi dalam bentuk biji siap giling, dan kami sudah adai group media whatts up guna berbagi informasinya. Kita berusaha mengejar bagaimana koperasi-koperasi kopi arabika di Aceh dengan kopi gayo dan koperasi lainnya. Di rapat anggota, kita selalu bahas apa-apa yang perlu diinovasikan lagi,”pungkas ia.
Upaya mengenalkan kopi Sumsel ini mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah provinsi Sumsel. Dalam berbagai kesempatan, Gubernur Sumsel, Herman Deru mengatakan kopi Sumsel harus mampu dikenal di internasional. Pengalamannya selama ini, kopi-kopi Sumsel lebih banyak diberi nama daerah lain, padahal luasan terbesar komoditas kopi berada di Sumsel.
“Penguatan komoditas kopi harus terus dilaksanakan, terutama menembus pasar internasional. Sumsel pernah berada di urutan ketiga dengan luasan kopi terbesar di Indonesia. Dengan luasan 300.000 hektar (ha), ialah luasan yang sangat potensial bagi pasar ekspor,”terangnya.
Adapun enam kota/kabupaten penghasil kopi terbesar di Sumsel diantaranya kota Pagaralam, Muara Enim, Lahat, Ogan Komering Ulu Selatan, Empat Lawang dan Musi Rawas. Karena itu, kopi sumsel membutuhkan dukungan banyak pihak, mulai menciptakan jalur dagang kopi sampai jaminan pembiayaan dan terbentuk kelembagaan yang membuat kopi makin merajai penghasilan masyarakat.
“Saya sangat ingin mengandeng asosiasi kopi, koperasi, perbankan, generasi muda, dan pihak-pihak lain, agar komitmen bersama-sama mengembalikan kopi Sumsel terlaksana lebih cepat,” ujar Deru saat membuka Sriwijaya Coffee dan Coolenary 2019 di Museum Tekstil Kambang Ikan (27/10).