Home Gaya Hidup Bank Sampah Lahir di Yogyakarta, Sukses di Kota Malang

Bank Sampah Lahir di Yogyakarta, Sukses di Kota Malang

Kota Malang, Gatra.com - Daerah Istimewa Yogyakarta pernah menjadi rujukan pengelolaan sampah lewat bank sampah oleh Pemerintah Kota Malang, Jawa Timur. Namun hampir 10 tahun kemudian, ironisnya DIY terpaksa belajar bank sampah ke Kota Malang yang dulu mencontohnya. Kondisi ini menjadi cerita kegagalan Pemda DIY menangani sampah.

Kenyataan ini terungkap saat rombongan DPRD DIY melakukan studi banding bersama wartawan tentang sistem pengelolaan sampah ke Kota Malam, Kamis (31/10). DPRD DIY ditemui Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Malang Wasto yang didampingi Kepala Bidang Kemitraan dan Kerjasama Dinas Lingkungan Hidup, Rahmat, di Balai Kota Malang.

“Tahun 2010, kami bermasalah dalam penanganan sampah. Saat itu, tiga tempat pembuangan akhir (TPA) bermasalah dan harus segera ditutup. Kami memutuskan belajar mengenai bank sampah yang diperkenalkan Bambang Suwerda (pegiat pengelolaan sampah) di Kabupaten Bantul,” ujar Wasto.

Dari proses belajar itu, Rahmat yang diminta menjadi pimpinan proyek lantas mengamati, meniru dan memodifikasi program bank sampah Bantul.

Konsep dari Bantul lantas dikembangkan dengan membuat sistem bank sampah induk yang disahkan dengan badan hukum koperasi pada 2011 lantas diperbanyak ke unit-unit di bawahnya. Hingga 2019, sebanyak 620 bank sampah tersebar di tingkat RT di Malang. Langkah ini berdampak pada berkurangnya sampah, khususnya sampah anorganik di Kota Malang.

“Saat ini volume sampah kami mencapai 600 ton per hari dan bank sampah mampu memberikan andil dengan mengelola 20-30 persen sampah. Ini memberi keuntungan berlipat. Dalam sebulan, bank sampah bisa memutar uang sebesar Rp300 juta dengan total keanggotaan 30 ribu nasabah,” jelas Wasto.

Selain mendidik masyarakat untuk mengumpulkan sampah untuk ditukar dengan rupiah, sistem ini ternyata membuat mafia-mafia sampah tidak berkutik. Bank sampah Malang di Kecamatan Sukun juga memperbarui harga jual terbaru 70 item sampah anorganik tiap hari.

Sistem bank sampah induk ternyata menjadi rahasia dan penggerak majunya bank sampah di Kota Malang. Di bank sampah induk, masyarakat bisa mengetahui harga sampah yang sebelumnya rahasia di tangan mafia-mafia sampah.

Wasto menambahkan, keberhasilan bank sampah induk Malang mendapatkan berbagai prestasi dan menjadi rujukan nasional penanganan sampah oleh Kementerian Lingkungan Hidup.

“Masyarakat sadar bahwa lingkungan mereka adalah tanggung jawabnya. Selain itu, sosialisasi melalui Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga dinilai sangat efektif,” jelasnya.

Kepala Bidang Kemitraan dan Kerjasama DLH Kota Malang Rahmat menyatakan kesulitan pendirian bank sampah adalah rendahnya pemahaman masyarakat dan belum terbentuknya kesadaran lingkungan. Namun dengan berbagai program dan stimulus pemkot, bank sampah bisa berjalan sekaligus membentuk kebiasaan baru masyarakat.

“Kami setiap tahun menggelar Kampung Bersinar seperti lomba Adipura antar-RW yang indikatornya harus punya bank sampah. Dari situ muncul kebanggaan warga dan unit-unit bank sampah juga jalan. Bukan lagi rupiah jadi titik utama, tapi kesadaran warga untuk lingkungan bersih dan kebanggaannya,” ungkapnya.

Bagi Pemkot Malang, kesadaran masyarakat menjaga lingkungan dengan mengelola, memilih, dan memilah sampah sebelum dibuang adalah inti dari program ini. Pemkot Malang tidak mempermasalahkan bila ada bank sampah tingkat RT menjual sampah ke pengepul karena harga sampah sudah diketahui secara terbuka.

Rahmat menuturkan Pemkot Malang selanjutnya ingin memberi pengertian masyarakat untuk berpartisipasi mengelola sampah di TPA Supit Urang. Setiap tahun, Pemkot Malang mengeluarkan Rp9,6 untuk penyediaan tempat sampah sementara, armada angkut, sampai penanganan sampah di TPA.

“Saat ini retribusi dari pungutan sampah hanya Rp50 juta sebulan. Kami menargetkan nantinya pungutan bisa menembus Rp200 juta sebulan. Harapan kami dengan semakin mahal pungutan, pelayanan akan lebih baik dan masyarakat lebih peduli dengan sampah mereka,” ujarnya.

Untuk penarikan retribusi sampah di rumah tangga, Pemkot Malang bekerja sama dengan perusahaan air minum daerah yang memiliki data lengkap tentang kriteria pembayar iuran sesuai tempat tinggal. Iuran mulai Rp5.000 sampai Rp25.000 digabungkan dengan tagihan bulanan pemakaian air.

Melihat kondisi ini, Kabag Humas dan Protokol Sekretaris DPRD DIY Budi Nugroho mengakui DIY memang sepatutnya belajar dari Malang untuk menangani sampah dan pengembangan bank sampah.

“Meski Kota Malang awalnya belajar dari DIY, karena dikelola lebih baik, bank sampanya menjadi lebih maju dan mampu menjangkau nasabah dua kali lipat. DIY tidak usah bekecil hati atau malu untuk belajar,” ucapnya.

Selain memberdayakan masyarakat secara ekonomi, pengembangan bank sampah yang tersistem dinilai mampu mengurangi beban TPST Piyungan yang kewalahan menangani ribuan ton sampah dari Sleman, Kota Yogyakarta, dan Bantul.

“Kami akan rekomendasikan hasil studi banding ini ke pimpinan dewan supaya diteruskan ke Komisi D yang menangani permasalahan sampah agar bisa dikordinasikan dengan Pemda DIY,” katanya.

1568