Pemerintahan Jokowi menggencarkan program pendidikan vokasi demi mencetak sumber daya manusia berkualitas. Pembenahan dilakukan mulai dari standardisasi kurikulum bertaraf internasional hingga link and match dengan industri pariwisata.
Jakarta, GATRAreview.com- Sekilas mata memandang, bangunan SMK Pariwisata Bantul terlihat sederhana. Kelasnya mengitari lapangan dengan padang rumput mengering, tiang gawangnya berkarat. Namun siapa sangka, sekolah yang berlokasi di Jalan Raya Parangtritis Kilometer 20, Belan, Sidomulyo, Bambanglipuro itu, lumayan kondang.
Ketika SMK lain di Daerah Istimewa Yogyakarta menempatkan pariwisata sebatas program studi, SMK Bantul menjadi sekolah pariwisata satu-satunya di kawasan tersebut. Sekolah yang dikelola Yayasan Tri Praja Bakti itu, tetap bertahan dengan corak kepariwisataannya dan kini menyandang akreditasi B, capaian yang lumayan untuk sekolah swasta.
Saat ini, SMK Pariwisata Bantul memiliki 79 siswa. Jumlah itu bertahan dari tahun ke tahun. Sejak berdiri pada 2007, sekolah ini paling banyak punya 97 siswa. Perbandingan siswa laki-laki dan perempuan tak beda jauh, fifty-fifty. “Anak-anak sukanya masih cari sekolah gedungnya bagus. Kami dibanding [sekolah] negeri, jauh. Ada syarat jumlah siswa, kami sering terhambat. Padahal usulan bantuan sering diajukan,” ujar Kepala SMK Pariwisata Bantul, Windi Asih.
Namun keterbatasan itu tak menghambat sekolah untuk melanjutkan komitmen pendidikannya. Hingga saat ini, SMK Pariwisata Bantul telah membuka tiga jurusan: perhotelan, usaha perjalanan wisata, dan tata busana. Di program keahlian perhotelan, siswa disuguhi pembelajaran standar perhotelan: house keeping, front office, dan laundry. Baru-baru ini siswa juga memperoleh bekal materi baru, food and beverage.
Jurusan perjalanan wisata mengajarkan guiding dan tour planning. Dalam pembelajaran ini, siswa diberikan kompetensi melayani para tamu dan mengatur rute perjalanan wisata. Adapun siswa jurusan tata busana dibekali kemampuan mendesain, memilih bahan tekstil, menjahit, hingga menampilkannya di peragaan busana.
Hampir separuh siswa memilih jurusan perhotelan. Salah satu alasannya, karena industri perhotelan di Yogyakarta berkembang cukup baik. Program penjurusan di sekolah, menurut Windi, sudah ada sejak kelas 10. Di tingkat itu, siswa sudah dibekali teori dasar kepariwisataan, sedangkan pembelajaran spesifik kejuruan baru dimulai di kelas 11. “Siswa dan orang tua kurang memahami potensi sekolah pariwisata, padahal luar biasa. Anak-anak masih senang ke jurusan elektronik, otomotif, IT. Padahal sebetulnya sudah titik jenuh. Anak-anak juga suka memilih sekolah sesuai tren, padahal belum tahu mau kerja apa,” ujar Wakil Kepala SMK Pariwisata Bantul, Purwa Lestari.
Menjelang lulus, siswa menjalani praktik magang selama enam bulan. Untuk bidang perhotelan, tahun ini SMK bekerja sama dengan enam hotel. Hampir semua hotel berbintang di Yogyakarta disebut pernah jadi tempat magang siswa.
Windi dan Purwa mengeklaim semua lulusannya terserap dunia kerja. Bahkan sebelum lulus, sejumlah siswa sudah diminta bekerja di hotel. “Tetapi memang tidak semua memilih bekerja. Ada yang kuliah, ada yang wiraswasta, terutama yang dari jurusan tata busana,” kata Purwa.
Link and Match Mendongkrak Pariwisata
Serapan di dunia kerja tentu juga menjadi tolok ukur tersendiri bagi sekolah menengah kejuruan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, dari jauh hari mengingatkan lulusan SMK agar bekerja di sektor produktif, jangan “terjebak” dengan paradigma asal bekerja. Pemerintah punya target menekan angka pengangguran terbuka dengan memberdayakan program vokasi di tingkat SMK.
“Agar tidak terjebak dalam middle income trap, maka tenaga kerja yang tersedia bukan hanya mereka mendapatkan pekerjaan, tetapi juga betul-betul cocok dengan pekerjaannya itu dan punya nilai tambah pendapatan yang cukup bagus,” ujar Muhadjir.
Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, M Bakrun Dahlan, mengatakan bahwa pendidikan vokasi yang digagas tidak hanya tertuju pada teknik bangunan, mesin, dan karawitan. Pemerintah juga punya fokus memajukan pendidikan vokasi di sektor pariwisata. Bahkan, SMK sudah terlebih dahulu membangun link and match dengan dunia perhotelan. Lulusan SMK pariwisata banyak yang sudah diterima bekerja di hotel budget hingga berbintang.
“Sekolah pariwisata ini alurnya sangat positif. Misalnya, anak-anak yang melakukan PKL di sebuah hotel, umumnya langsung ditawarkan sebagai pegawai setelah lulus. Serapan untuk SMK pariwisata itu banyak sekali. Coba sekali-kali ke hotel, tanya pegawainya sekolah di mana dulu, pasti dijawab dari SMK,” tutur Bakrun kepada wartawan GATRAreview, Ucha Julistian Mone.
Bakrun mengatakan, pihaknya menggandeng Kementerian Pariwisata dalam pembinaan lebih dari 300 SMK. Kerja sama pembinaan juga melibatkan Asosiasi SMK Pariwisata. “Dari pengembangan itu tercipta program One School, One Hotel Manager, di mana setiap manajer bisa membangun SMK,” ujarnya.
SMK juga kerap mendatangkan pelaku perhotelan untuk mengajar di sekolah. Dengan demikian, siswa dapat memperoleh ilmu dan praktik dari instruktur yang berpengalaman di bidangnya. “Jadi proses pembelajarannya, teman-teman dari perhotelan ikut mengajar di SMK. Kemudian pelaksanaan PKL siswa langsung di bisnis hotel,” kata Bakrun.
Untuk kurikulum, Bakrun menyebut pihaknya sudah meramu sesuai standar internasional. Penggodokan kurikulum bekerja sama dengan asosiasi dan industri perhotelan. Lebih jauh, Kemendikbud juga berperan dalam mendorong sertifikasi keahlian di bidang pariwisata berstandar ASEAN.
“Jadi kita yang mendorong sertifikasi berstandar ASEAN tersebut. Kita fasilitasi dengan penyelarasan kurikulum kemudian kesepakatan bersama Kementerian Pariwisata dan pengakuan dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Jadi ini bersinergi,” ucap Bakrun.
Mampu Kirim US$1.000 Per Bulan
Geliat program pendidikan vokasional tidak berhenti di tingkat SMK. Belakangan, pendidikan tinggi juga fokus mencetak SDM di bidang pariwisata. Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, terdapat enam perguruan tinggi yang berorientasi pada pariwisata Indonesia. Keenam perguruan tinggi tersebut, Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung, Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali, Politeknik Pariwisata Makassar, Politeknik Pariwisata Medan, Politeknik Pariwisata Palembang, dan Politeknik Pariwisata Lombok.
“Jadi perlu diketahui enam sekolah itu vocational, 70 persen adalah keterampilan yang dikeluarkan sudah tingkat ASEAN. MRATP (Mutual Recognition Arrangement Tourism Professionals) namanya,” ujar Arief kepada wartawan dalam peluncuran Calendar of Event Papua Barat di Kementerian Pariwisata, pertengahan September.
Menurut Arief, saat ini terdapat 10.000 mahasiswa yang tercatat dalam enam perguruan tinggi tersebut. Sejumlah lulusannya pun mengisi berbagai pos jabatan di Kementerian Pariwisata. Ia mengatakan, setiap tahunnya perguruan tinggi dapat meluluskan 2.500 mahasiswa yang dapat mengisi kebutuhan di sektor wisata.
Arief menyebutkan, sebagian kecil dari lulusan perguruan tinggi tersebut lebih memilih bekerja di luar negeri. Beberapa negara yang menjadi bidikan, yakni Timur Tengah dan Malaysia. Mereka yang berkarir di luar negeri, mampu mengirim hingga US$1.000 per bulan kepada orang tuanya di tanah air. Hal tersebut jelas kebanggaan. Namun di satu sisi juga menjadi dilema, sebab Indonesia masih kekurangan sumber daya pariwisata terampil.
“Sebanyak 20% dari overall itu, kerja di luar negeri. Dilemanya, di Indonesia dibutuhkan, tetapi saya memutuskan untuk membiarkan anak-anak kita kerja di sana. Saya juga tidak mau, TKI kita kerja di luar low skill. Sekarang middle dan high skill, dan membanggakan,” tutur Arief.
Andhika Dinata dan Arief Koes Hernawan