Pekanbaru, Gatra.com - Mulai hari ini hingga 1 November 2019, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) bakal menaja Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) di Bali Internasional Convention Center (BICC) The Westin Resort Nusa Dua Bali.
Sederet delegasi dari dalam maupun luar negeri bakal bergabung di acara kali ke 15 itu. "Ini adalah forum yang akan membahas kondisi pasar tahun depan. Strategi apa yang akan dipakai menghadapi kondisi tadi, akan dikupas di sana. Itulah makanya sejumlah pakar juga hadir," kata Ketua Umum GAPKI, Joko Supriyono, kepada Gatra.com melalui sambungan telepon, Rabu (30/10).
Lalu bagaimana Indonesia yang saat ini tampil sebagai eksportir terbesar Crude Palm Oil (CPO) bisa menguatkan posisinya biar tahan dan tangguh menghadapi situasi pasar global yg fluktuatif, juga bakal dibahas.
Lantas dari unsur petani sendiri yang ikut dalam acara itu mengaku mengusung pesan bahwa saat ini petani kelapa sawit sangat berperan pada pergerakan ekonomi Indonesia.
"Dan kami akan menunjukkan ke halayak ramai bahwa petani sudah move on dari tradisional ke modern. Petani juga siap sustainable terlebih jika pemerintah menyuguhkan regulasi yang tidak memberatkan petani," ujar Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung, kepada Gatra.com.
Lelaki 47 tahun ini turut hadir dalam acara itu. "Kami satu-satunya organisasi petani yang membikin stand di acara itu," tambahnya.
Soal regulasi yang tidak memberatkan itu kata Gulat, termasuklah itu polemik klaim kawasan hutan yang kini mendera para petani kelapa sawit. "Kami berharap persoalan ini bisa segera diselesaikan oleh pemerintah tanpa merugikan petani. Kalau persoalan klaim kawasan hutan ini beres, aturan main seperti apapun yang apalagi demi kebaikan para petani, pasti kami turuti," katanya.
Lantas lantaran petani kelapa sawit Indoensia adalah mitra sawit dunia, petani juga kata Gulat mengusung sederet gagasan di acara itu.
Misalnya soal industri hilir biar saja dipegang oleh industri besar dan industri menengah seperti produksi minyak goreng, perlahan diambil alih oleh petani.
"Industri menengah akan menjadi domain petani sawit. Lantaran itu petani sawit akan membangun pabrik-pabrik mini yang rantai pasoknya langsung ke pertamina," terang Gulat.
Persiapan untuk itu kata Gulat sudah on the way. Pihaknya malah sudah membangun komunikasi dengan GAPKI dan sejumlah petani yang sudah lebih dulu bergerak di minyak goreng. "Dalam waktu dekat Apkasindo akan audiensi dengan Menko Maritim dan Investasi," katanya.
Pemangat industri sawit, Derom Bangun kemudian mengingatkan bahwa minyak sawit banyak tantangan. Saat ini saja situasi masih sangat bergejolak.
"Ada faktor tambahan selain faktor biasa. Misalnya soal ketegangan dagang antara Amerika dan Tiongkok, Inggris dan Uni Eropa yang bersoal tentang Brexit (Britania Raya), India dan malaysia yang bersoal gara-gara Kasmir," kata Derom kepada Gatra.com melalui sambungan telepon, Rabu (30/10).
Itulah makanya kata Derom, pada tema pertama acara IPOC tadi, muncul gagasan memberikan pengaruh posotif terhadap daya saing minyak sawit Indonesia terhadap minyak nabati lain.
"Musti bisa diupayakan supaya minyak sawit kita jangan banyak mendapat kritikan. Caranya yang meminimalisir persoalan yang ada. Misalnya soal kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Ini jangan terulang lagi. Terus, perkuat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). ISPO ini musti benar-benar dipraktekkan secara menyeluruh, biar sawit kita tidak bercela dan tidak mudah dikritik," katanya.
Topik yang cukup menonjol kata Derom yang juga Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Nasional (DMSI) ini adalah biodiesel. Sebab pengaruh komoditi ini sangat berdampak.
"Gimana caranya supaya penerapan 30 persen biodiesel yang akan dimulai 1 Januari 2020, benar-benar bisa berjalan. Memang tidak semua persoalan bisa dibahas di konfrensi itu, tapi persoalan yang belum dibahas, musti bisa dijadikan bahan perbaikan dan advokasi," pesannya.
Begitu juga soal regulasi, sesuaikan dengan apa yang dicanangkan presiden. kemudahan administrasi dan izin ini sangat penting. "HGU sangat penting, tapi dalam pelaksanaan pengurusan di lapangan, 2-3 tahun baru kelar. Begitu banyak persyaratan dan rekomendasi yang harus di keluarkan," katanya.
Lantas soal perubahan status kawasan hutan, ini juga jadi pertanyaan. Pada Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), Pemda memberikan HGU lantaran lahan yang diberikan bukan kawasan hutan. Tapi saat regulasi berubah, status kawasan berubah pula.
"Ini juga jadi masalah besar. Membiarkan situasi seperti ini berlama-lama, akan membikin dunia usaha tidak ada kepastikan, pihak luar pun bisa menuduhkan apa saja. Untuk itu pemerintah perlu membikin ketegasan. Ketegasan itu dijalankan dengan bijak tanpa harus mengorbankan petani," pintanya.