Jakarta, Gatra.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengirim surat ke Imigrasi untuk melakukan perpanjangan pelarangan ke luar negeri terhadap Wali Kota Tasikmalaya, Budiman, dalam Penyidikan kasus suap terkait pengurusan dana perimbangan Pada ABPN 2018 Kota Tasikmalaya.
"[Hal ini] karena kebutuhan penyidikan perpanjangan pelarangan ke luar negeri dilakukan selama enam bulan ke depan, terhitung sejak 21 Oktober 2019," ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Rabu (30/10).
Sebelumnya Wali Kota Tasikmalaya, Budi Budiman sebagai tersangka kasus suap pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kota Tasikmalaya TA 2018. Penyidik KPK menduga pemberian uang total sebesar Rp400 juta terkait pengurusan DAK untuk Kota Tasikmalaya TA 2018 kepada Yaya Purnomo dan kawan. Penyelidikan ini merupakan hasil pengembangan dari perkara eks pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yaya Purnomo.
Dalam kasus itu diketahui ada suap seputar usulan dana perimbangan keuangan daerah dalam RAPBN Perubahan Tahun Anggaran 2018. Dalam pengembangan perkara dan fakta persidangan, KPK menemukan sejumlah bukti penerimaan lain oleh Yaya Purnomo dari berbagai pihak. Selain itu, lembaga antirasuah juga menemukan adanya peran pihak lain terhadap kasus ini.
Yaya telah divonis 6,5 tahun penjara pada Februari 2019 yang lalu. Majelis Hakim menyatakan Yaya terbukti menerima suap bersama anggota DPR Amin Santono, dan mantan Bupati Lampung Tengah, Mustafa.
Untuk kasus ini, KPK menduga Yaya menawarkan bantuan untuk pengurusan alokasi DAK. Budi pun memberi respon positif dan menjanjikan fee jika mendapatkan alokasi DAK tersebut. Sekitar awal tahun 2017 BBD, diduga terjadi pertemuan dengan Yaya Purnomo untuk membahas alokasi DAK Kota Tasikmalaya.
Saat pertemuan itu, Budi menyerahkan usulan DAK untuk Kota Tasikmalaya TA 2018 kepada Kementerian Keuangan dengan mengusulkan anggaran untuk jalan,irigasi, dan rumah sakit Rujukan.
Pada Oktober 2017 akhirnya Kota Tasikmalaya diputuskan mendapat alokasi DAK dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2018. Anggaran yang dikucurkan dengan total Rp124,38 miliar.
Atas perbuatannya itu Budi diduga melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.