Banyumas, Gatra.com - Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menilai, para pegiat desa wisata perlu berkolaborasi dengan kalangan akademisi untuk mengembangkan dan mengkaji konsep wisata ramah lingkungan. Hal ini dikemukakan saat mengunjungi destinasi wisata Taman Wisata Bambu, Desa Wisata Karangsalam, Kecamatan Baturraden, Banyumas, Selasa, (29/10). Desa wisata tersebut merupakan salah satu desa yang unggul dalam pengelolaan pariwisata.
Menurut Ganjar, Pemerintah Desa Karangsalam dapat menggandeng kampus di Kabupaten Banyumas seperti Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Universitas Wijayakusuma, dan sebagainya. Kerja sama ini bertujuan untuk menyusun desain bentang darat hingga visi serta arah pengembangannya.
"[Desa Karangsalam] ini bagus sekali. Namun, kita mesti mengajak ahli. Maka saya sarankan ajak saja perguruan tinggi, buat kerja sama. Buat program KKN sampai 20 kali," katanya kepada wartawan di sela kunjungan.
Ganjar mengatakan, beberapa desa wisata harus mengembangkan konsep konservasi. Salah satu contohnya dengan cara melarang wisatawan meninggalkan sampah plastik di destinasi wisata.
"Saran saya konservasi, jadi modernitasnya sedikit saja. Wisatawan juga harus diedukasi. Tidak boleh membawa sampah plastik masuk ke daya tarik yang dikelola desa wisata," tandasnya.
Menurutnya, antardesa wisata dapat menjalin kerja sama, sehingga wisatawan bisa diajak mengikuti paket wisata dengan kekhasan masing-masing.
"Kalau bisa antartempat destinasi jangan sama, sehingga wisatawan itu bisa ke sini dua hari. Dua hari menginap itu sudah luar biasa," katanya.
Ketua Kelompok Sadar Wisata Tirta Kamulyan Desa Karangsalam, Sisworo menuturkan, perkembangan wisata di desa tersebut diawali dari satu destinasi wisata, yakni Curug Telu sejak akhir tahun 2015. Setelah itu, semakin banyak destinasi yang bermunculan.
"Dulu satu dua. Sekarang sudah banyak. Ada yang bekerja sama dengan pihak swasta juga, tetapi tetap melibatkan masyarakat," katanya.
Menurutnya, sektor pariwisata telah menyumbang pendapatan asli desa sebesar Rp 10 juta per bulan. Padahal, sebelumnya, desa tersebut terbilang kecil.
"Sebetulnya sumbangan ke PAD desa itu kecil. Lebih banyak yang ke masyarakat. Ada yang jadi warung, jadi kolam kecil. Itu benar-benar memutar roda perekonomian," katanya.