Jakarta, Gatra.com - Peneliti senior Negrit, Hadar Nafis Gumay mengatakan bahwa kasus pemecatan calon legislatif (caleg) terpilih oleh suatu partai politik bukanlah kasus baru. Bedanya hanya pada waktu pemecatannya saja.
"Pemecatan caleg terpilih bukan kasus baru dimana ada model-model pemberhentian yang tidak demokratis karena mereka (parpol) hanya ingin calonnya yang menang yang lebih diinginkan, tapi tidak dapat suara cukup. Bedanya kalau dulu, pemecatan terjadi sebelum ditetapkan menjadi caleg terpilih, sekarang momennya ketika caleg sudah dapat stempel resmi dari KPU," ujarnya saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Senin (28/10).
Menurutnya, penyelenggara pemilu harus terlibat dalam kasus semacam ini karena masih dalam bagian tahapan pemilu. Lanjutnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang notabenenya adalah penyelenggara pemilu berhak mengeluarkan surat edaran apabila dirasa surat pemecatan caleg terpilih belum lengkap dan tidak memiliki alasan kuat.
"KPU selalu berdalih bahwa klarifikasi itu sudah dilakukan, namun hanya kepada partai. Memang tidak ada regulasi yang mengatur klarifikasi dua pihak secara spesifik atau tidak detail dan saya kira itu sebuah kekurangan. Tetapi bukan berarti kalau peraturan tidak dibuat detail, kemudian tidak bisa berbuat apa-apa padahal penyelenggara pemilu punya hak untuk menata dan mengatur melalui surat edaran," tuturnya.
Ia mengatakan tugas dari seorang penyelenggara pemilu adalah menyelesaikan seluruh tahapan pemilu sampai pelantikan tanpa menimbulkan permasalahan apapun dan berlandaskan pada asas jujur, adil, terbuka, serta memberi kepastian. Untuk parpol, ia memberi catatan agar bisa objektif dan tidak menerapkan prinsip 'like and dislike'.