Jakarta, Gatra.com - Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan Tim Pencari Fakta (TPF) Komnas HAM terkait peristiwa 21-23 Mei 2019, diketahui bahwa aksi kerusuhan ini didasari oleh ketidakpuasan hasil pemilu. "Tentu saja unjuk rasa untuk penyampaian pendapat di muka umum dan tindakan anarkis ini kaitannya dengan ketidakpuasan hasil pemilu yang kemudian penetapan hasil pilpres di KPU dan Bawaslu," ujar Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara di kantornya, Jakarta, Senin (28/10).
Menurutnya, aksi massa yang terjadi pada 21-23 Mei lalu ini menjadi noda dalam demokrasi Indonesia. Pasalnya, sebelum dan setelah pemilu dilaksanakan, terdapat narasi-narasi anarkisme di media-media sosial. "Selain beberapa fakta atau peristiwa yang terjadi di lapangan, kami juga meminta atau kemudian menganalisa khusus tentang media sosial, ujaran kebencian dan eskalasi kekerasan yang ada," katanya.
Ia menambahkan, cara-cara kekerasan yang terjadi dalam aksi massa itu dipakai sebagai pemaksaan kehendak sebagian kelompok yang tidak puas pada hasil pemilu. Padahal, menurut Beka, hasil pemilu yang ditetapkan KPU telah sah. "Kekerasan yang terjadi dalam peristiwa 21-23 Mei adalah kelanjutan dari sikap yang menolak hasil pilpres yang telah diumumkan oleh KPU republik Indonesia," ucapnya.
Bahkan, ia menyebut, kerusuhan ini merupakan rentetan sikap politik yang dikemukakan sebagian kelompok masyarakat. Pasalnya, pada masa kampanye pemilu 2019 yang lalu, sebagian besar masyarakat terjerumus dalam kontestasi politik.