Solo, Gatra.com – BPJS Kesehatan terus mengalami defisit anggararan. Pemisahan peran sebagai regulator dan operator yang diemban BPJS Kesehatan selama ini dianggap bisa jadi solusi.
Pakar Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Pujiyono mengatakan saat ini BPJS Kesehatan memiliki beberapa masalah kelembagaan. Menurut dia, masalah itu berdampak pada kinerja BPJS Kesehatan yang buruk.
Lembaga tersebut dinilai kurang kreatif dan inovatif, juga tak memiliki terobosan. ”Dalam beberapa tahun terakhir kan BPJS Kesehatan mengalami defisit anggaran. Sehingga harus menunggak pembayaran klaim ke rumah sakit,” ucap Pujiyono di kampus UNS, Solo, Senin (28/10).
Hingga akhir tahun ini, BPJS Kesehatan diprediksi mengalami defisit hingga Rp32 triliun. Tahun lalu, defisitnya Rp28 triliun. Bengkaknya defisit ini menandakan performa manajemen BPJS Kesehatan buruk. Untuk itu, lembaga penjamin kesehatan itu perlu dibenahi secara mendalam dari aspek kelembagaan, regulasi, dan profesionalisme.
”Apalagi BPJS Kesehatan selama ini memiliki peran ganda sebagai regulator dan sebagai operator. Padahal idealnya dua peran ini bisa dipisahkan,” ucapnya.
Ia menjelaskan, penyatuan dua peran itu membuat kebijakan BPJS Kesehatan tidak objektif dan hanya menyesuaikan kebutuhan internal. Dampaknya, kepuasan masyarakat menurun dan kesadaran masyarakat dalam membayar premi juga menjadi rendah.
Untuk itu, Pujiyono mengusulkan peran regulator BJPS Kesehatan diserahkan ke Menteri Kesehatan. Dengan begitu, BPJS Kesehatan hanya berperan sebagai operator. Namun pemisahan peran ini perlu mengubah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan.
”Termasuk kebutuhan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) sangat dibutuhkan,” ucapnya.