Bantul, Gatra.com – Kementerian Pemuda dan Olahraga menilai olahraga tradisional menghadirkan semangat persaudaraan dan persatuan. Pembakuan standar dan aturan olahraga tradisional terus dilakukan untuk menambah cabang yang dilombakan.
Hal ini dikemukakan Deputi Bidang Pembudayaan Olahraga Kempora Raden Isnanta saat membuka Pekan Olahraga Tradisional (Potradas) ke-VII di Stadion Sultan Agung, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (26/10).
Berlangsung pada 25-28 Oktober, ajang yang diikuti perwakilan dari 24 provinsi ini mempertandingkan lima cabang olahraga nasional yang sudah dibakukan yaitu hadang (gobak sodor), dagongan, terompah panjang (bakiak), egrang, dan sumpitan (tulup).
“Potradas ini adalah agenda tahunan dengan cabang yang dipertandingkan berbeda per tahunnya. Tahun genap, cabang yang dipertandingkan adalah olahraga tradisional baru yang jumlahnya mencapai ratusan di seluruh Indonesia,” jelasnya.
Sedangkan pada tahun ganjil seperti sekarang, hanya lima cabang baku dan memiliki standar nilai yang dipertandingkan. Menurut Raden, meski lima cabang ini memiliki nama berbeda di berbagai daerah, melalui pembakuan, standar penilaian bisa diterapkan.
Menurut Raden, pertandingan cabang olahraga tradisional baru bertujuan menjaga hasil kebudayaan, juga menambah dan mengenalkan olahraga tradisional secara lebih luas di masyarakat.
“Kami terus mendorong daerah terus melaksanakan kompetisi olahraga tradisional agar semakin digemari masyarakat. Semakin banyak yang tertarik, maka semakin mendongkrak derajat kesehatan bangsa kita,” jelasnya.
Didominasi oleh peserta dari kalangan milenial, ajang ini diharap menjadi arena memupuk persaudaraan dan kesatuan bangsa. Ajang ini bukan menekankan nilai siapa yang terbaik dalam kompetisi. “Saat ini bangsa Indonesia butuh kebersamaan, gotong royong, serta persaudaraan yang mulai terkikis. Olahraga tradisional membangkitkan itu,” jelasnya.
Ditemui usai berlaga di cabang egrang, pewakilan dari Papua, Martinus Kaize, mengamini harapan pemerintah dari Potradas ini. Pemuda berusia 19 tahun ini mengatakan selama dua hari ikut ajang ini, dirinya lebih mengenal berbagai kebudayaan dari daerah lain.
“Ternyata ada banyak nama untuk permainan yang sama. Saya baru tahu. Seperti sumpit, di sini lebih dikenal dengan istilah tulup,” katanya.
Meski memiliki target berkompetisi dengan upaya terbaik, Martinuz berkata bahwa ia ikut kompetisi ini demi memupuk rasa persaudaraan dan persatuan dengan peserta daerah lain.
Ia dan rekan-rekannya berharap, ajang Potradas menjadi langkah awal untuk melestarikan budaya Indonesia.