Jakarta, Gatra.com - Organisasi Perempuan Mahardika mengatakan bahwa konflik agraria yang sering terjadi di daerah seringkali berdampak pada perubahan peran gender. Hilangnya mata pencaharian petani sebagai kepala keluarga membuat anak terpaksa dinikahkan daripada dijadikan tulang punggung keluarga.
Menurut Koordinator Perempuan Mahardika, Mutiara Ika Pratiwi, konflik agraria muncul ketika petani kehilangan mata pencahariannya. Beberapa hal yang menjadi penyebabnya antara lain, perampasan lahan dan pembagian lahan yang tak layak untuk dijadikan ladang usaha.
Dari perspektif gender, Ika melihat bahwa kondisi seperti itu membuat kepala keluarga merasa kehilangan martabat karena tak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Akibatnya, dia akan bersikap lebih konservatif.
Ketidakstabilan ekonomi keluarga akhirnya menuntut seorang ibu untuk terjun sebagai buruh migran. Dari sinilah ibu mulai merasa bahwa anaknya tidak aman karena ditinggalkannya. "Ketika seorang ibu kemudian dia memutuskan untuk menjadi buruh migran, dia ke luar negeri, nah anak ini menjadi concern dia. Seorang anak akan lebih baik dinikahkan daripada dia menjadi tulang punggung keluarga," kata Ika dalam diskusi bertema Reforma Agraria Milik Siapa di Kantor YLBHI, Jakarta, Kamis (24/10).
Ika menyayangkan keputusan untuk menikahkan anak di bawah umur dibenarkan oleh kepala keluarga. Menurutnya, kondisi seperti itu menjadikan laki-laki bisa terus menunjukan kekuasaannya. "Kasus seperti ini menjadi kecenderungan bagaimana perubahan, bagaimana konflik agraria kemudian berpengaruh terhadap peran gender keluarga. Contoh kasusnya, tingginya angka perkawinan anak di daerah-daerah," ujar Ika.