Bantul, Gatra.com - Kepala Badan Siber dan Sandi Negara Letjen TNI (Purn) Hinsa Siburian menyatakan ancaman nyata Indonesia saat ini adalah separatisme dan radikalisme yang masif disebarkan di dunia maya. Pembatasan internet dinilai tidak seefektif bila dibanding pemahaman mengenai UUD 45, Pancasila, dan kearifan lokal.
Pandangan ini disampaikan Hinsa di 'Rapat Koordinasi Pengendalian Pembangunan Daerah Triwulan III tahun Anggaran 2019’ yang diselenggarakan Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta di The Grand Dafam Hotel, Bantul, Kamis (24/10).
“Separatisme dan radikalisme adalah serangan non-fisik yang ditujukan langsung ke pusat persatuan dan kekuatan bangsa Indonesia yaitu Pancasila,” katanya.
Dibandingkan serangan fisik, menurut Hinsa, bahaya non -fisik lebih besar karena disebarkan melalui informasi yang dimodifikasi dan tidak sesuai kenyataan. Informasi ini disebar oleh pihak-pihak yang ingin mengadu domba hingga menimbulkan perang. “Karena perang lalu mereka masuk dengan kepentingannya,” ucapnya.
Kerusuhan Wamena, menurut Hinsa, menjadi contoh terbaru serangan siber mampu menghasilkan kekacauan dan menyebabkan 17 ribu orang mengungsi.
“Kami datang langsung dan kondisinya menyedihkan. Yang teriak-teriak, semisal di Jakarta maupun daerah lainnya, tidak tahu bahwa kasus Wamena mengusik persatuan dan kesatuan kita. Ini juga kami temukan di beberapa wilayah lain,” ujarnya.
Bagi Hinsa, mengamalkan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai Pancasila dan UUD 45 menjadi langkah pencegahan utama, selain penguatan nilai-nilai agama, adat budaya, dan kearifan lokal.
Ia menganggap langkah itu lebih efektif dibandingkan dengan pembatasan akses internet. Pembatasan hanya akan efektif jika diterapkan di wilayah yang mengalami kekacauan.
“Memang kurang efektif, terlebih saat ini pemerintah sedang berupaya meningkatkan kecepatan dan jaringan internet. Tetapi pembatasan bukan merupakan domain kita,” jelasnya.