Mataram, Gatra.com- Direktur Lembaga Kajian Sosial dan Politik M16 Mataram, Bambang Mei Finarwanto mengatakan, peluang calon petahana maupun penantang sama besar dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) di tujuh kabupaten dan kota di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 2020.
Alasan mantan Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB ini untuk calon petahana, tentu sudah memiliki popularitas bahkan basis pendukung. Namun, kondisi ini tak serta merta memuluskan langkah calon petahana. Pasalnya, perlu diuji seberapa besar tingkat popularitas dan basis massa yang benar-benar akan memberikan suaranya.
"Kenyataannya sekarang, calon-calon penantang petahana tampak enjoy dan pede menatap kontestasi. Calon petahana yang tidak memiliki gagasan dan terobosan baru rentan ditinggalkan pemilihnya. Apalagi jika wilayah yang sudah dia pimpin belum memberikan kepuasan bagi masyarakat. Hal-hal seperti ini yang rentan disalip calon penantang," ujar Bambang di Mataram, Kamis (24/10).
Dikatakan Bambang, para calon penantang petahana tentu memiliki analisa sendiri mengenai rekam jejak calon petahana selama memimpin. Dari sini, calon rival petahana akan membangun narasi inovasi yang bisa menarik minat pemilih.
“Oleh karenanya, calon penantang petahana dituntut menawarkan gagasan baru yang berbeda dari apa yang sudah ada. Jika peluang ini bisa dimanfaatkan calon penantang, bukan tidak mungkin calon petahana akan tumbang," katanya.
Bambang berharap, kontestasi pilkada tak sekadar dimaknai sebagai perebutan kekuasaan, melainkan juga sebagai sarana pendidikan politik. Pemenang bukan lantaran memiliki kondisi finansial yang lebih banyak, tapi visi dan misi yang lebih jelas.
"Untuk meminimalkan politik uang dan sebagai sarana pendidikan politik yang benar, maka KPU maupun kalangan stakeholders lain perlu memperbanyak votters education (pendidikan pemilih ) di kalangan milenial atau pemilih pemula agar memiliki perspektif yang baik tentang politik," kata Bambang lagi.
Bambang memperkirakan jumlah pemilih pemula pada pilkada 2020 di NTB akan naik sebesar 20 persen hingga 30 persen dari DPT di setiap kabupaten dan kota. Dengan tingginya jumlah pemilih pemula atau milenial tentu mereka memiliki posisi tawar yang cukup signifikan dalam mendongkrak perolehan suara calon kepala daerah.
"Di era milenial yang mengandalkan teknologi 4.0 ini, keberadaan pemilih pemula tidak bisa dianggap remeh karena mereka memiliki identitas tersendiri dalam kumpulan komunitas yang rata-rata mengadopsi tehnologi gadget sebagai sarana interaksi sosialnya," kata Bambang.
Namun lanjut Bambang, kelemahan mendasar kalangan milenial ialah ketertarikan atau daya pikatnya terhadap politik masih rendah cenderung mengambang. Hal ini karena telah terbentuk persepsi awal di kalangan milenial bahwa politik itu kotor, jauh dari kesenangan, maupun dianggap kontra produktif. "Untuk mengubah perspektif negatif kalangan pemilih pemula ini, pendekatan votters education yang didesain dengan pola dan gaya interaksi milenial diyakini lebih efektif ketimbang memakai pola konvensional," ungkapnya.
Dengan bertambahnya pemilih pemula paralel dengan kemajuan teknologi komunikasi gaya lama politik uang tidak lagi cukup efektif dalam meraih suara. Masyarakat kelas menengah sudah sadar bahwa partisipasi politiknya kelak akan mempengaruhi corak dan gaya pemimpin kepala daerah.
"Pemilu legislatif 2019 telah memberikan pelajaran berharga bahwa sebagian besar petahana tumbang oleh arus perubahan yang diinginkan masyarakat di NTB. Pun demikian dalam pilkada serentak 2020 tidak tertutup kemungkinan petahana kepala daerah bertumbangan karena rakyat menginginkan perubahan," katanya.