Purwokerto, Gatra.com – Ahli hukum birokrasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, DR Tedi Sudrajat menyatakan, pelarangan untuk mengeluarkan pernyataan yang bernada sinis atau kritis bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) kepada pemerintah menyebabkan sebuah kondisi yang disebut sebagai Chilling Effect.
Chilling effect adalah kondisi di mana ASN takut untuk menyampaikan pendapat terhadap pemerintah. Padahal, kritik dalam konteks demokrasi sangat diperlukan.
Namun, di sisi lain, larangan mengkritik pemerintah lewat media sosial juga bisa menciptakan kondisi profesional dan loyal. Pemerintah memerlukan profil pegawai ASN yang profesional dan loyal untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan.
“Sehingga membutuhkan situasi yang kondusif tanpa hiruk pikuk lontaran yang bernada sinis dan kritis terhadap pemerintah di media sosial,” katanya, dalam keterangannya, Senin petang (21/10).
Menurut dia, dua kondisi tersebut harus diantisipasi dengan membuat parameter yang jelas terhadap substansi pendapat tersebut. Sepanjang disampaikan dengan data dan etika yang baik, maka hal tersebut seharusnya tidak perlu dipersoalkan.
Selain itu, pemerintah perlu membuat media penyampaian aspirasi dari internal pemerintah yang langsung dapat direspon dari pihak yang dikritik. Media komunikasi itu dijadikan sebagai forum diskusi pegawai ASN untuk mendukung reformasi birokrasi.
Tedi yang juga Koordinator Program Studi Sarjana Hukum, Fakultas Hukum, Unsoed tak heran jika aturan mengkritik ini telah menciptakan polemik. Sebab, media sosial sudah menjadi bagian penting masyarakat yang dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyampaikan pendapat. “Dan itu adalah hak setiap warga negara yang dilindungi oleh konstitusi,” ujarnya.
Namun, kata dia, yang perlu dimengerti adalah bahwa status kepegawaian melekat. Setiap pegawai ASN baik Pegawai Negeri Sipil maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) terikat dengan perjanjian antara Pemerintah dengan pegawai ASN yang disebut contract suigeneris yang di dalamnya terkandung hubungan dinas publik (openbare diensbetrekking).
“Artinya, pola hubungan ini menciptakan kedudukan yang sub ordinatif antara Pemerintah dengan pegawai ASN, di mana pegawai ASN harus tunduk taat pada setiap pengaturan yang dibuat oleh Pemerintah selaku atasannya. Implikasi dari hubungan ini menciptakan pembatasan Hak Asasi bagi setiap pegawai ASN,” jelasnya.