Semarang, Gatra.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan International Finance Corporation (IFC) berkomitmen untuk melanjutkan kerja sama pengembangan program Keuangan Berkelanjutan (Sustainable Finance) yang sudah terjalin sejak tahun 2018 sehingga diharapkan dapat mempercepat upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
Demikian kesimpulan pertemuan OJK dan IFC yang digelar di sela-sela IMF World Bank Annual Meetings 2019 di Washington D.C. Amerika Serikat Kamis waktu setempat, dalam siaran rilis yang diterima Gatra.com, Sabtu (19/20).
Hadir dalam pertemuan itu Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana, Nena Stoiljkovic, Vice President IFC Asia and Pacific, yang didampingi oleh Ethiopis Tafara (Vice President, Multilateral Investment Guarantee Agency, World Bank Group) dan Azam Khan (Country Manager, IFC Indonesia, Malaysia and Timor-Leste).
Dalam pertemuan itu, IFC menyatakan Indonesia sudah dinilai telah mencapai maturing stage di bidang Sustainable Finance (SF) sehingga tahapan berikutnya akan difokuskan pada implementasi prinsip SF melalui Roadmap Sustainable Finance phase II, guna memperkuat implementasi manajemen risiko dari “Environmental, Social, and Governance (ESG)” oleh institusi jasa keuangan.
OJK juga mendapatkan komitmen IFC dalam pengembangan lebih lanjut penerapan Sustainable Finance di Indonesia, termasuk komitmen IFC menggalang investor global masuk di pasar greenbonds/green sukuk Indonesia. Saat ini IFC tengah merealisasikan komitmen di sektor keuangan di Indonesia senilai kurang lebih 150 juta dolar AS.
Dalam kunjungan kerjanya di Washington DC, Wimboh juga berkesempatan menjadi pembicara dalam pertemuan OECD - Tri Hita Karana Coordination Forum mengenai perkembangan Blendred Finance yang dihadiri oleh perwakilan organisasi internasional, investor dan filantropis global.
Wimboh menyampaikan pentingnya peran pembiayaan untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Disadari bahwa di negara berkembang, terdapat kekurangan sekitar 2,5 triliun dolar AS setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri diperlukan dana sebesar Rp 884 triliun (periode 5 tahun) untuk membiayai proyek SDGs.
“Peran skema Blended Finance menjadi sangat penting sebagai solusi untuk menutupi gap pembiayaan yang ada,” kata Wimboh.
Pengembangan skema blended finance melalui keterbukaan atau transparansi dalam penggunaaan dana diharapkan bisa meningkatkan mobilisasi dana melalui skema yang lebih inovatif dan implementatif, serta arah petunjuk yang dapat membantu mendorong perkembangan blended finance.
“Dengan berbagai inisiatif yang dilakukan Pemerintah, OJK, industri keuangan dan berbagai pihak terkait lainnya, Indonesia saat ini sudah diakui dunia sebagai yang terdepan dalam implementasi Sustainable Finance. Indonesia siap memimpin upaya global dan menjadi role model bagi dunia dalam penerapan Sustainable Finance ini termasuk skema blended finance,” kata Wimboh.
Dalam kesempatan itu, Wimboh bersama beberapa negara penggerak blended finance berkomitmen untuk menyelesaikan standar internasional mengenai implementasi skema Blended Finance yang rencananya akan keluar di akhir tahun ini. Indonesia dan Kanada menjadi leader dalam inisiatif ini.
Wimboh menyampaikan bahwa investor dan pilantrophi global sudah siap untuk berinvestasi di Blended Finance sehingga diperlukan formulasi standar yang tidak hanya top down approach tetapi juga bottom up dengan melihat penerapan di berbagai negara khususnya Indonesia yang saat ini memiliki 33 proyek, dengan 6 proyek telah diselesaikan tahun lalu, 9 proyek dalam proses dan 2 proyek dimulai tahun ini.
Ketua DK OJK sependapat bahwa meskipun pencapaian SDGs ini tidak mudah, namun upaya dan kolaborasi bersama dengan semua pelaku baik pemerintah dan pihak swasta, dapat membantu mengatasi permasalahan dampak climate change dan SDGs.
Di Washington D.C. OJK juga berkesempatan menggelar pertemuan dengan The Banko Sentral Ng Pilipinas (BSP) untuk membahas kerja sama pengembangan fintech dan perbankan syariah sebagai upaya mendorong pertumbuhan keuangan syariah regional ke depan.
Dalam pertemuan itu hadir Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana, sementara dari BSP diwakili oleh Gubernur BSP Benjamin E.Diokno.
Pimpinan OJK dalam kesempatan itu berkomitmen untuk berbagi pengalaman dalam pengembangan dan pengawasan industri perbankan syariah dan menyampaikan pendekatan OJK dalam menyiasati perkembangan Fintech yang begitu pesat. Kedua otoritas sepakat untuk menandatangani MoU dalam waktu dekat.