Jakarta, Gatra.com - Koordinator Riset dan Advokasi Indonesia for Global Justice (IGJ), Rahmat Maulana Sidik mendesak pemerintah merevisi Undang-Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
"Kami juga ingin mengingatkan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 13/PUU-XVI/2018 mengenai dikabulkannya sebagian permohonan pemohon terhadap Pasal 10 UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional," kata Maulana dalam konferensi di Kekini Ruang Bersama, di Jakarta, Jumat (18/10).
Maulana menjelaskan dengan dikabulkannya permohoanan tersebut, seharusnya perundangan terhadap perjanjian internasional tidak hanya yang diatur dalam pasal 10, melainkan juga mencakup hal lain seperti perjanjian perdagangan dan kerjasama ekonomi.
Ia berharap dalam revisi UU tersebut tercantum pedoman bagi perjanjian internasional yang selama ini belum ada dasar hukumnya.
"Pemerintah belum punya guideline (pedoman) untuk perundingan intenasional. Pemerintah seperti peta buta untuk melakukan perjanjian perdaganagan Intenasional," tuturnya.
Maulana menyayangkan meskipun revisi UU Perjanjian Internasional sudah masuk dalam program legislasi nasional Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019, namun sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya.
"Kami meminta ada revisi UU perjanjian Internasional didahulukan dibandingkan UU pertanahan, UU KPK, dan UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan," tegasnya.
Maulana juga mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk proaktif dalam menganalisis dampak dari setiap perjanjian internasional.
"Terakhir, harus lakukan constitutional review (peninjauan kembali UU Perjanjian Internasional). Setiap perjanjian internasional yang mengakibatkan kerugian masyarakat dan perlindungan negara harus mengacu kepada konstitusi kita," katanya.