Solo, Gatra.com – Serikat Pekerja Nasional (SPN) Solo tak sepakat dengan revisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasalnya draf revisi usulan pemerintah ini mengandung beberapa pasal yang memperburuk nasib para pekerja.
”Kami menggelar unjuk rasa pada 2 Oktober lalu. Kami menuntut pemerintah membatalkan revisi UU Ketenagakerjaan dan kenaikan BPJS Kesehatan pada awal tahun nanti,” ucap Ketua SPN Solo M Sholihuddin, Jumat (16/10).
Revisi UU Ketenagakerjaan yang diajukan oleh pemerintah dianggap memberatkan pekerja. Sejumlah pasal dianggap memberatkan pekerja, termasuk klausul memperpanjang masa kontrak dari dua tahun menjadi enam tahun.
”Selain itu penentuan upah tidak didasarkan pada kebutuhan hidup layah (KHL), melainkan kesepakatan antara perusahaan dan karyawan,” ucapnya.
Selain itu, SPN Solo meminta pemerintah menghapus Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Skema penentuan upah berdasarkan PP itu dinilai sangat merugikan pekerja.
Apalagi PP tersebut tidak mencerminkan kondisi pekerja di masing-masing wilayah. ”Makanya kami meminta pemerintah mengembalikan penghitungan upah berdasarkan ketentuan sebelumnya, yakni berdasarkan survei KHL di tiap daerah,” ujarnya.
Menurut Sholihuddin, penentuan upah minimum kota (UMK) Solo 2020 juga masih dibahas alot. Tarik ulur terjadi antara pengusaha dan serikat pekerja dalam Dewan Pengupahan. Namun jika belum ada aturan baru, penghitungan UMK akan berdasarkan pada PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
”Kami masih terus berusaha agar aspirasi pekerja dapat diakomodasi. Saat ini kami juga melakukan survei secara mandiri terhadap KHL di Kota Solo,” jelasnya.
Sekretaris Apindo Solo Wahyu Haryanto mengatakan, penentuan UMK Solo 2020 menunggu pembahasan di Dewan Pengupahan. ”Sejauh ini dari Dewan Pengupahan belum ada kesepakatan terkait besaran UMK yang akan diusulkan pada tingkat provinsi,” ucapnya.