Jakarta, Gatra.com - Pegiat HAM Dan Ahli Lingkungan Tasdiyanto Rohadi mengatakan, kualitas udara di Ibu Kota Negara seperti Jakarta disinyalir semakin memprihatinkan, imbasnya mengkhawatirkan kesehatan masyarakat. Tasdiyanto dan tim telah dikenal meneliti kualitas lingkungan Pulau Jawa, khususnya Kota Jakarta ini mengungkapkan, hasil penelitian disimpulkan kualitas lingkungan Ibu Kota Jakarta yang sangat memprihatinkan itu telah diseminarkan di salah satu perguruan tinggi di Jakarta pada tahun 2012.
"Rekomendasi dari seminar yang digelar oleh kalangan akademisi itu adalah dengan memindahkan Ibu Kota Negara keluar dari wilayah Jakarta adalah solusi penyelamatan ekosistem yang ada di region ini sebagai sebuah keputusan yang realistis dan menjadi keniscayaan zaman," kata Tasdiyanto ketika dhubungi Gatra.com, Jumat (18/10).
Pria yang juga menjabat sebagai Sekjen Komnas HAM Republik Indonesia ini menambahkan, penyebab utama kualitas udara Jakarta yang buruk, dikarenakan kurangnya daya tampung dan daya dukung lingkungan di Pulau Jawa.
Sejalan perjalanan waktu, Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla pada tahun 2019 ini telah menetapkan rencana kepindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
Sebab itu, Doktor di bidang Lingkungan dengan predikat cumlaude dari UGM Yogyakarta ini menilai pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia dari Jakarta sudah sangat tepat. Alasannya, kualitas lingkungan hidup di Jakarta sudah semakin memprihatinkan.
“Pada 2019 ini, kita semakin terperangah menyaksikan kualitas udara di Jakarta terburuk di dunia,” kata Tasdiyanto yang juga Ketua Umum Perhimpunan Profesional Lingkungan Seluruh Indonesia.
Tasdiyanto menyatakan berdasarkan US Air Quality Index (AQI), pada tanggal 8 Agustus 2019 pukul 11.40 WIB, kualitas udara Jakarta tercatat di angka 156 kategori tidak sehat, dengan parameter PM 2,5 konsentrasi 64.4 µg/m³. Sedangkan di posisi kedua untuk kualitas udara terburuk di dunia diisi oleh Ibu Kota Dubai, dengan indeks kualitas udara 152 dengan status udara tidak sehat setara dengan parameter PM 2.5 konsentrasi 56.6 µg/m³.
Hasil pemantauan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2018 telah menunjukkan paparan PM 2,5 rata-rata tahunan 39 µg/m3, yang telah masuk kategori tidak sehat. Sedangkan hasil pemantauan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menunjukkan data antara 29-102 µg/m3 dengan rata-rata tahunan 43 µg/m3 yang juga masuk kategori yang sama, yakni tidak sehat.
Tasdiyanto Rohadi menyebut berbagai penyakit banyak ditimbulkan karena kualitas lingkungan yang semakin memburuk ini. Seperti ISPA, iritasi mata dan kulit, alergi, pneumonia, asma, bronchopneumonia, COPD (Chronicle Obstructive Pulmonary Dieses) atau penyempitan saluran pernafasan, jantung koroner, kanker, gangguan fungsi ginjal, hingga kematian dini akibat semakin buruknya kualitas udara Jakarta. “Selain kualitas udara tersebut, kondisi media air di Jakarta juga sangat memprihatinkan,” ujarnya.
Kajian daya dukung lingkungan yang dilakukan P3E Jawa KLHK tahun 2015 menunjukkan Koefisien Jasa Ekosistem (KJE) penyedia air bersih DKI Jakarta ada pada zona merah (KJE 0,00 – 0,16) yang berarti sangat rendah.
Demikian juga daya tampung lingkungan ekosistem pemurnian air (KJE 0,00 – 0,32), tata aliran air dan banjir (KJE 0,00 – 0,27), serta pengolah dan pengurai limbah (0,00-0,22), yang ketiganya juga sangat rendah.
Tasdiyanto menambahkan, kondisi media lingkungan hidup tersebut memberikan indikasi kualitas lingkungan hidup yang tidak sehat di Jakarta. “Hal ini tentunya menjadi tanggung jawab Negara sesuai Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1), yang menegaskan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan,” pungkasnya.