Semarang, Gatra.com - Diketahui perilaku buruk masyarakat menyumbang sebanyak 30 persen terjadinya kasus stunting. Masyarakat didorong untuk bisa merubah perilaku agar mampu menekan angka kekerdilan pada anak sejak dini.
"Artinya, perubahan perilaku mutlak harus dilakukan apabila ingin mereduksi angka stunting," kata Rizkiyana Sukandhi Putra, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, saat Bimbingan Teknis Penyusunan Kebijakan Daerah Tentang Komunikasi Perubahan Perilaku untuk Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) di MG Setos Hotel, Semarang, Rabu (16/10).
Acara yang diselenggarakan Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (TP2AK) Stunting Sekretariat Wakil Presiden tersebut diikuti sebanyak 38 Kabupaten/Kota dari tiga provinsi yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, serta Jawa Timur dan akan berlangsung hingga 18 Oktober mendatang.
Menurut Rizkiyana, dalam datanya tercatat jika lingkungan yang buruk menyumbang 40 persen, perilaku mencapai 30 persen, layanan kesehatan 20 persen, dan faktor genetik hanya menyumbang 10 persen.
Selain itu, lanjutnya, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, angka stunting di Indonesia mencapai 30,8 persen. Angka ini terbilang sangat tinggi karena sepertiga anak balita Indonesia mengalami stunting yang mengakibatkan anak balita gagal tumbuh optimal.
Ditandai dengan postur tubuh pendek, kemampuan motorik terlambat, mudah terkena infeksi, kemampuan belajar dan sosilisasi rendah, prestasi sekolah rendah, saat dewasa prestasi kerja rendah dan mudah terkena penyakit.
"Pendeknya, stunting tidak hanya menyebabkan kekerdilan pada anak, namun juga mengakibatkan kemampuan kognitif tidak berkembang maksimal. Hal ini menjadi faktor rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) karena berpengaruh terhadap produktivitas," katanya.
Menurut Rizki, masalah stunting adalah masalah intergenerasi. Artinya, kualitas kehidupan sekarang ditentukan oleh kehidupan sebelumnya. Remaja yang mengalami gizi kurang dimasa kecilnya, atau berperilaku makan yang kurang gizi, jika hal ini terus berlanjut hingga menikah dan kemudian hamil, maka mereka akan sangat berisiko melahirkan bayi stunting.
Lingkaran pola pengasuhan dan perilaku yang tidak mendukung tumbuh kembang ini terus berulang dan bermuara pada rendahknya asupan zat gizi anak generasi berikut dan menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang semakin menurun.
"Itulah alasan pentingnya meningkatkan kesadaran publik dan mengubah perilaku kunci yang berpengaruh pada faktor risiko stunting melalui strategi komunikasi perubahan perilaku," ucapnya.
Hingga saat Ini sudah ada 100 kabupaten/kota yang mempunyai peraturan terkait Komunikasi Antar Pribadi (KAP), namun baru 28 kabupaten/kota yang sudah menyusun strategi komunikasi perubahan perilaku.
Lewat strategi komunikasi, tambah Rizki diharapkan sasaran intervensi mempraktikan perilaku yang diharapkan seperti cuci tangan pakai sabun (CTPS), tidak buang air besar (BAB) sembarangan, pola hidup bersih dan sehat, minum tablet tambah darah (TTD) pada ibu hamil, pemantauan tumbuh kembang anak melalui Posyandu, dan lain sebagainya.
Kementerian Kesehatan sendiri akan memaksimalkan peran tenaga kesehatan dan kader posyandu untuk mengkomunikasikan pesan-pesan mendukung perubahan perilaku di seluruh pelosok Indonesia.
Sementara itu, Asisten Deputi Perlindungan Sosial dan Penanggulangan Bencana Sekretariat Wakil Presiden, Abdul Muis mengatakan, Pemerintah Indonesia saat ini terus berupaya menurunkan angka stunting hingga dibawah 20 persen pada akhir 2024 mendatang.
Salah satu upaya yang sangat penting ialah mendorong konvergensi program penanganan stunting di tingkat kabupaten/kota dan desa prioritas.
"Konvergensi menjadi kunci dalam upaya percepatan pencegahan stunting. Upaya konvergensi dilakukan untuk memastikan program pemerintah pusat, pemerintah daerah bahkan program tanggungjawab dunia usaha terintegrasi untuk pencegahan stunting," tuturnya.
Muis menerangkan, upaya pemerintah menurunkan angka stunting melalui tiga prioritas, yakni prioritas intervensi yakni intervensi sensitif dan spesifik stunting, prioritas lokasi, dan target prioritas intervensi, yakni keluarga 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Intervensi spesifik dibawah komando Kementerian Kesehatan ditujukan untuk mencegah dan mengatasi stunting secara langsung pada ibu hamil dan balita melalui pemberian zat besi, imunisasi, makanan tambahan, tablet tambah darah, dan lain sebagainya.
"Sedangkan intervensi sensitif yang multi-sektoral untuk mengatasi permasalahan sosioekonomi yang dapat berhubungan dengan peningkatan risiko stunting, seperti akses sanitasi dan air bersih, akses terhadap bantuan sosial, peningkatan ketahanan pangan dan peningkatan kesehatan remaja," katanya.
Reporter: Ambar Adi Winarso
bimtek-stunting
Direktur-Promosi-Kesehatan-dan-Pemberdayaan-Masyarakat
Kementerian-Kesehatan
Tim-Percepatan-Pencegahan-Anak-Kerdil-TP2AK-Stunting
Sekretariat-Wakil-Presiden
Asisten-Deputi-Perlindungan-Sosial-dan-Penanggulangan-Bencana-Sekretariat-Wakil-Presiden
Abdul-Muis
kekerdilan-pada-anak
MG-Setos-Hotel
Stunting
Kota-Semarang