Slawi, Gatra.com - Seorang anak di Desa Tonggara, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Tegal, Slamet Wahyudi, mengalami gizi buruk. Di usianya yang menginjak 11 tahun, berat badannya hanya 8,7 kilogram (kg). Dalam kurva pertumbuhan WHO, 8 - 10 kg adalah berat ideal bayi usia 8 bulan.
Setiap hari, Slamet hanya bisa berbaring lemah di atas kasur. Seluruh bagian tubuhnya hanya menampakkan tulang berbalut kulit. Ia juga tak bisa berbicara dengan lancar. Kondisi tersebut sudah dialaminya sejak berusia satu tahun.
"Kata dokter waktu dibawa ke rumah sakit, anak saya mengalami gizi buruk. Tidak ada penyakit apa-apa," ungkap ibu Slamet, Wasniah (40) kepada Gatra.com, di rumahnya di RT 4 RW 2 Desa Tonggara, Rabu (16/10).
Wasniah menuturkan, saat lahir kondisi Slamet normal. Beratnya saat itu mencapai 2,5 kg. Tiga hari setelah kelahiran, Wasniah baru mengetahui kalau anak keduanya itu tidak memiliki lubang anus sehingga langsung dibawa ke RSUD dr Soeselo, Slawi.
"Baru tahu ketahuan tidak ada lubang anusnya tiga hari setelah lahir. Kakak saya yang ngasih tahu. Akhirnya dibawa ke rumah sakit dan dilakukan operasi untuk membuat lubang di perut untuk buang air besar," ujarnya.
Setahun kemudian, kondisi berat badan Slamet terus merosot. Makanan yang dikonsumsi hanya susu. Kondisinya yang memprihatinkan membuat Slamet tak bisa bersekolah padahal bocah seusiannya semestinya sudah duduk di kelas 6 SD. "Makannya susah. Berat badannya pernah 6 kilo. Sekarang agak naik, jadi 8,7 kilo. Tidak pernah sampai 10 kilo," ucap Wasniah.
Menurutnya, anaknya harus kembali menjalani operasi dengan biaya Rp25 juta agar anusnya bisa berfungsi. Namun operasi pembuatan lubang anus itu belum bisa dilakukan karena berat badan Slamet tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi. "Kata dokter belum bisa operasi. Belum sehat. Nunggu berat badannya 10 kilo dulu," ungkap Wasniah.
Untuk menaikkan berat badannya, asupan gizi Slamet mengandalkan bantuan makanan tambahan anak dan vitamin dari puskesmas. Sedangkan kebutuhan sehari-hari Wasniah yang terdaftar sebagai keluarga miskin penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) hanya mengandalkan penghasilan sang suami, Jazuli (50), yang bekerja sebagai buruh pabrik ban di Bogor. "Mudah-mudahan anak saya bisa segera sehat agar bias dioperasi?," harap Wasniah.