Jakarta, Gatra.com - Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono menuturkan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanian yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 24 September 2019 masih belum mengakomodir tujuan reforma agraria sebagaimana amanat UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.
"RUU ini sarat ketentuan yang mengutamakan bisnis di atas hak rakyat," ujarnya dalam acara diskusi di Bakso Boedjangan Pejaten, Jakarta, Selasa (15/10).
Yusuf menjelaskan beberapa poin yang menjadi sorotan RUU tersebut, di antaranya pengingkaran terhadap hak ulayat masyarakat, kriminalisasi bagi rakyat yang mempertahankan tanahnya dari penggusuran, memfasilitasi akuisisi Iahan skala besar korporasi, masa berlaku hak guna usaha (HGU) mencapal 90 tahun, memberi imunitas bagi perusahaan yang pernah melanggar ketentuan HGU, mengizinkan kepemilikan asing atas rumah susun, hingga pendirian bank tanah yang akan menjadikan tanah sekedar komoditas pasar.
"Mereka [pemerintah] sangat terlihat sekali didorong oleh kepentingan kapital besar karena untuk mengakses tanah semakin murah, semakin mudah, semakin luas. Menurut kami ini sangat berbahaya," ujarnya.
Yusuf memaparkan, krisis agraria di Indonesia terlihat dari banyak dimensi seperti ketimpangan struktur kepemilikan tanah yang sangat tajam, konflik agraria yang masif dan persisten, laju kerusakan ekologis yang semakin cepat dan luas, alih fungsi Iahan pertanian yang tidak terkendali, serta besarnya kasus kemiskinan yang berasosiasi dengan ketiadaan Iahan produktif bagi masyarakat kelas bawah.
Secara politis, Ia berpendapat, UU Pokok Agraria menganut populisme yang mengakui hak milik individu, tetapi harus memiliki fungsi sosial. "Dengan setiap penggunaan tanah dibebani kepentingan umum, maka politik agraria harus mengedepankan asas produktivitas tanah, kelestarian tanah dan kepemilikian tanah yang merata," lanjutnya.
Yusuf berharap, beberapa poin RUU Pertanahan dapat dipertimbangkan kembali oleh pemerintah. Tentunya hal ini perlu dilakukan sebelum disetujui oleh Presiden, berlaku 30 hari setelah mendapat persetujuan DPR. "Kita berharap nanti arahnya menguatkan cita-cita reforma agraria," tuturnya.
UU Pokok Agraria mengamanatkan setiap keluarga tani memiliki luas lahan minimum 2 hekta. Namun, hasil Survei Pertaniam Antar Sensus (SUTAS) 2018 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, 89,1% rumah tangga usaha pertanian (RTUP) memiliki luas lahan kurang dari 2 hektar.
Peneliti IDEAS, Meli Triana Devi berpendapat, akar masalah utama kemiskinan di pedesaan mengenai distribusi tanah yang sangat terkonsentrasi pada segelintir pihak.
Berdasarkan data yang dihimpun IDEAS dari BPS dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), sebanyak 16,65 juta hektar lahan dikuasai oleh 65 perusahaan minyak dan gas; 7,59 juta hektar dikuasai oleh 42 perusahaan hutan alam; 4,73 juta hektar dikuasai oleh 24 hutan tanaman industri; 3,16 juta hektar dikuasai oleh 15 perusahaan sawit; 2,86 juta hektar dikuasai oleh 20 perusahaan mineral; dan 1,1 juta hektar dikuasai oleh 40 perusahaan batubara.
"Dengan sebagian besar masyarakat pedesaan masih menggantungkan penghidupannya pada sektor pertanian. Penguasaan Iahan menjadi krusial dalam peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan," katanya.
Meli beranggapan, seharusnya arah kebijakan utama dengan mempertahankan dan mengembangkan penguasaan lahan skala kecil di Jawa, yang harus difasilitasi dengan land reform.
"Arah kebijakan ini tidak hanya akan menjamin ketahanan pangan nasional, tetapi juga akan menurukan kemiskinan dan kesenjangan secara mengesankan," jelasnya.
Peneliti IDEAS, Arie Firdha Amalia berpendapat, tanah merupakan aset produktif utama bagi rakyat miskin, sehingga ketiadaan lahan membatasi kemampuan mereka untuk mendapat penghasilan. "Reforma agraria menjadi kebutuhan yang mendesak saat ini demi terciptanya kesejahteraan rakyat," pungkasnya.