Home Internasional Kompromi Menjelang Tenggat

Kompromi Menjelang Tenggat

Proposal Inggris untuk Brexit disambut dingin Eropa. Soal tapal batas Irlandia masih belum menemukan titik terang. Inggris ingin Uni Eropa lebih berkompromi

 

Tinggal hitungan hari menuju tenggat 31 Oktober 2019 Inggris keluar dari Uni Eropa, alias Brexit, namun belum ada kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak. Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, mendesak Uni Eropa untuk berkompromi menciptakan kesepakatan Brexit. Pernyataan pada Minggu, 6 Oktober lalu, itu dibarengi dengan ancaman: Inggris akan bersikeras keluar dari Uni Eropa tanpa perjanjian.

Johnson mengatakan kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron, ini adalah “kesempatan terakhir” untuk mengamankan perjanjian penarikan. Pada saat yang sama, juru runding PM Inggris mengisyaratkan dia membuat konsesi pada rencana Brexit yang ditawarkan pada Rabu pekan lalu.

Uni Eropa menuntut Johnson mengubah proposal Brexit. Seperti dikutip laman Financial Times pada awal pekan ini, Macron mengatakan kepada Johnson bahwa pembicaraan mengenai kemungkinan kesepakatan harus dilanjutkan dengan cepat, sehingga penilaian dapat dilakukan pada akhir pekan.

PM Boris mengajukan tawaran kesepakatan setelah parlemen menerbitkan undang-undang yang mengharuskan pemerintah meminta penundaan baru Brexit jika belum mendapatkan kesepakatan Uni Eropa pada 19 Oktober. Namun, jika PM Inggris meminta perpanjangan waktu lagi, tidak ada jaminan negara-negara Uni Eropa setuju.

Keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan, alias no deal, berarti Inggris langsung keluar dari sistem pasar tunggal Eropa sekaligus sistem bea cukainya. Implikasinya, Uni Eropa langsung mengenakan tarif masuk untuk impor komoditas Inggris. Karena ada pemeriksaan barang masuk oleh bea cukai di perbatasan, maka akan menimbulktan antrean panjang barang di pelabuhan-pelabuhan. Bagi perusahaan Inggris, tindakan ini mengurangi daya saing mereka.

Perusahaan jasa Inggris juga tidak bisa beroperasi di negara Uni Eropa dalam kerangka pasar tunggal.

***

Kondisi ini juga menimbulkan persoalan pelik di Pulau Irlandia, tepatnya di perbatasan antara Republik Irlandia dan Irlandia Utara yang dikuasai Kerajaan Inggris. Secara teori, jika no deal, kedua negara akan membangun pos pemeriksaan di tapal batas.

Kedua negara itu sama-sama tidak ingin ada pos pemeriksaan. Faktor sejarah konflik kedua belah pihak menjadi alasannya. Pos pemeriksaan tapal batas sudah dihapus selepas perjanjian damai Jumat Agung 1998. Sejak itu, warga dan pengusaha terbiasa melintasi perbatasan tanpa sekat. Ada puluhan ribu orang dan barang yang melintas perbatasan setiap hari. Terutama mereka yang tinggal di satu sisi Irlandia dan bekerja di sisi lainnya.

Uni Eropa ingin Irlandia Utara tetap dalam sistem bea cukai Uni Eropa dan terpisah dari Inggris, paska Brexit. Inggris tidak suka dengan ide itu, karana akan memisahkan Irlandia Utara dari wilayah-wilayah lain di Inggris. Negara itu juga tetap ingin mengontrol keluar-masuknya barang dan orang.

Persoalan ini yang membuat perundingan Brexit berlarut-larut. Theresa May sewaktu menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris gagal mencapai kesepakatan. Dan kini penggantinya, Boris Johnson, menawarkan proposal baru Rabu pekan lalu.

Ada sejumlah poin pokok dari proposar tersebut. Di antaranya, seperti dikutip BBC, Irlandia Utara akan meninggalkan sistem bea cukai Uni Eropa pada awal 2021 bersama dengan seluruh bagian Inggris. Tetapi Irlandia Utara akan terus menerapkan legislasi Uni Eropa terkait pertanian dan produk lainnya dengan persetujuan Majelis Irlandia Utara. Boris Johnson menyebutkan, sebagai all-island regulatory zone/zona pengaturan seluruh pulau. Secara teori pengaturan ini bisa berlangsung tanpa batas waktu, tetapi dengan persetujuan para politisi Irlandia Utara akan ditinjau setiap empat tahun.

Kedua, pemeriksaan kepabeanan atas barang-barang yang diperdagangkan antara Inggris dan Uni Eropa akan didesentralisasi dengan dokumen yang dikirim secara elektronik dan pemeriksaan fisik hanya dilakukan dalam jumlah yang sangat kecil. Pemeriksaan itu dilakukan jauh dari perbatasan, di tempat usaha atau titik-titik lain dalam rantai pasokan.

Irlandia, kata PM Irlandia Leo Varadkar, tidak bisa menerima usulan pembangunan pos pemeriksaan barang antara utara dan selatan. Juga tidak menerima hak veto dari Majelis Irlandia Utara setiap empat tahun sekali seperti ditetapkan proposal.

Tanggapan dingin Varadkar menimbulkan gejolak di Irlandia Utara. Kelompok pendukung Brexit menuding Varadkar telah menghancurkan proposal yang bisa mereka terima. Di belahan lain Eropa, keberatan PM Irlandia langsung disuarakan para petinggi Eropa. Donald Tusk, Presiden Dewan Eropa, menegaskan bahwa Uni Eropa berdiri sepenuhnya di belakang Republik Irlandia.

Menyikapi perkembangan situasi itu, Inggris meminta Uni Eropa untuk lebih lentur. Apalagi, juru runding Inggris juga mengisyaratkan kompromi. Perundingan-perundingan masih akan berlangsung dan Inggris masih akan melewati tikungan-tikungan politik yang mendebarkan.


 

82