Jakarta, Gatra.com -- Manuver politik Prabowo Subianto menumbuhkan istilah politik rekonsiliasi. Sikap keukeuh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), meneguhkan sikap oposisi. "Ada dua kosa kata yang oleh sebagian orang dipertentangkan yaitu oposisi dan rekonsiliasi. Ada yang berdalih karena ketegangan memuncak maka perlu rekonsiliasi yaitu dengan cara semua ikut koalisi pemerintah," kata Mohamad Sohibul Iman, Presiden PKS, 14/10, di Jakarta.
Bagi yang kritis, jika semua ikut pemerintah, lantas siapa yang mengkritisi. Karena semua terkait erat dengan nasib demokrasi. "Kalau semua ikut pemerintah, lalu bagaimana dengan nasib demokrasi yang tanpa penyeimbang?" tanya Sohibul.
"Menurut saya, rekonsiliasi mutlak diperlukan tetapi rekonsiliasi tidak otomatis dihasilkan kalau semua ikut dalam pemerintahan. Malah justru bisa menimbulkan masalah-masalah baru. Misalnya, masuknya partai-partai yang kalah dalam pilpres justru akan menimbulkan kegaduhan di partai-partai yang jadi pengusung pemenang. Ini berarti memindahkan kegaduhan saja, rekonsiliadi tidak terjadi," katanya.
"Apalagi kalau disertai cara berpolitik yang tidak dewasa seperti melibatkan urusan-urusan pribadi, like and dislike, dan sebagainya. Maka rekonsiliasi itu jadi utopia sekalipun semua gabung dengan pemerintah," katanya.
"Di sisi lain sekalipun ada penyeimbang asal kedua pihak (pemerintah dan penyeimbang) bisa berpolitik secara dewasa, rasional, dan berbasis rule of law maka tidak akan ada fragmentasi bangsa," tegasnya.
"Jadi tolong jangan pertentangkan antara oposisi dengan rekonsiliasi. Keduanya sama-sama mutlak diperlukan. Yang penting bagaimana menempatkan keduanya secara benar. Jadi bukan bertanya "milih yang mana?", tetapi "bagaimana mengelola keduanya?" katanya.