Jakarta, Gatra.com- Peneliti Centre for innovation policy governance (CIPG) Klara Esti menjelaskan, sejarah buzzer, lahir pada 2006 sejak kemunculan media sosial Twitter. Tiga tahun berikutnya, tahun 2009, buzzer sudah digunakan perusahaan untuk memasarkan produknya.
Ia juga mengatakan seluk beluk buzzer di Indonesia, dari segi positif hingga segi negatif. Klara mengutarakan, awal mula kemunculannya, buzzer hanya digunakan untuk teknik marketing penjualan produk tertentu.
Menurutnya, teknik tersebut mulai meluas penggunaannya. Meski, hal ini justru digunakan untuk mendongkrak elektabilitas dan popularitas selebritis, tokoh politik, atau partai politik tertentu.
Tahun 2012, menurut Klara merupakan puncak keterlibatan buzzer secara masif dalam dunia politik. Tepatnya pada saat pemilihan Gubernur DKI, dan terus berlanjut di tahun 2014 saat pilpres hingga saat ini.
Banyaknya buzzer politik di Indonesia disebabkan oleh aktivitas pengguna media sosial yang sering mengomentari tentang kebijakan pemerintah ataupun kebijakan partai tertentu.
"Ada dua motif yang menggerakkan seseorang atau akun untuk melakukan aktivitas buzzing, yaitu komersial ditandai dengan imbalan atas jasa dan sukarela karena ideologi atau rasa puas terhadap suatu produk atau jasa," katanya dalam diskusi bertajuk "Buzzer dan Ancaman terhadap Demokrasi" di Kantor YLBHI, Jakarta, Jumat (11/10).
Kebangkitan buzzer politik dimanfaatkan agen buzzer untuk merekrut kelompok tertentu. Kemudian, menggiring opini dan membuat percakapan dengan hastag tertentu.
Kekuatan besar ini mengakibatkan penetrasi isu politik yang digaungkan buzzer menyebar dengan cepat. Media sosial seperti Facebook, Twitter, dan instagram dijadikan alat untuk memberikan konten kepada khalayak. Banyak permintaan datang dari orang yang butuh untuk ditenarkan.
"Permintaan itu biasanya datang dari perusahaan dan tokoh politik. Partai politik yang sama-sama mau promosi dan punya kepentingan," ucapnya.