Jakarta, Gatra.com - Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardani mencabut izin salah satu importir pemegang Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) di Surabaya, Jawa Timur.
"Dia dapat izin lumayan banyak. Setelah kita lakukan pemeriksaan di alamatnya, ternyata nggak ada pabriknya. Maka kita cabut izin impornya dan cabut izin angka pengenalan importir produsennya. Jadi tidak bisa impor lagi," kata Wisnu kepada awak media di kantornya, Jakarta, Jumat (11/10).
Wisnu mengatakan perusahaan importir yang dicabut izinnya selama ini telah mengimpor sebanyak 16 juta meter kain untuk periode 2019.
"Jadi di impor TPT ini nggak ada kuota. Ini itu dikasih atas permintaan perusahaan yang sudah dikasih pertimbangan (rekomendasi) Kementerian Perindustrian," katanya.
Selain itu, lanjus Wisnu, pihaknya tengah mengawasi 21 perusahaan pemegang API-P dan API-U (Angka Pengenal Importir Umum) untuk menyelidiki dugaan kebocoran impor tekstil dan produk turunannya (TPT).
“Mayoritas perusahaan tersebut mengimpor dalam bentuk kain. Sedang dilakukan penelitian lapangan. Begitu ketahuan langsung kita tindak," tegasnya.
Direktur Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan, Heru Pambudi menjelaskan modus penyelundupan impor TPT biasanya berupa penyelewengan jenis barang (manipulasi kode HS) dan jumlah barang.
"Modusnya nggak ada yang spesifik untuk penyelundupan TPT, ini berlaku umum," ujarnya.
Heru mengatakan Bea Cukai akan memperkuat upaya penindakan melalui satuan tugas (satgas) yang terdiri dari Kementerian Keuangan (Bea Cukai), Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).
Heru menjelaskan impor dilakukan melalui verifikasi berjenjang mulai kontainer masuk, dicek melalui sistem inventaris, pemeriksaan perlakuan, dan dilakukan verifikasi kembali ketika keluar.
"Kalau dia misalnya dapat jatah impor 100 meter tapi ternyata ngak punya mesin, kita tutup. Karena itu merusak pelaku usaha lain," tegasnya.
Heru menyebut hanya 4,07 persen impor TPT datang melalui Pusat Logistik Berikat (PLB) dan sisanya dari pelabuhan dan bandara.
"Soal tekstil ini saya tegaskan bahwa masalah itu ada di hulu dan hilir, bukan hanya (kebocoran) di PLB," ujarnya.