Pekanbaru, Gatra.com - Fraksi Partai Keadilan Sejatera (PKS) dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) tak kebagian kursi pimpinan komisi di DPRD Riau. Ini terjadi lantaran dua fraksi ini bersama fraksi Gerindra bolos dari rapat paripurna pembentukan Alat Kelengkapan Dewan (AKD), Kamis malam. Keadaan itu menimbukan keretakan di tubuh DPRD. Terbukti ada ancaman membuat sidang tandingan.
Kondisi itu juga menjalar ke eksekutif. Menurut pengamat politik, bisa saja Gubernur dan Wakil Gubernur Riau akan mengambil jarak dari dua partai itu dan merapat ke Golkar. Padahal kedua partai ini adalah pengusung utama Syamsuar dan Edy Natar Nasution dalam perhelatan Pilgub 2018 lalu.
Pengamat politik dari Universitas Riau, Tito Handoko menyebut, selaku pimpinan eksekutif, Syamsuar akan mempertimbangkan segala pilihan rasional demi menguatkan pengaruhnya di parlemen. "Tak mungkin dia bersikap pasif dengan apa yang terjadi di parlemen. Bagaimana pun dia butuh dukungan untuk mengamankan jalannya pemerintahan, terutama pembahasan anggaran," katanya kepada Gatra.com, Jum'at (11/10).
Di parlemen Riau, Fraksi PAN dan PKS saat ini memiliki 14 kursi dari total 65 kursi DPRD. Jika polarisasi pasca penetapan AKD disertakan dengan memasukan Fraksi Gerindra sebagai bagian dari koalisi PAN dan PKS di parlemen, jumlah kursi yang dimiliki baru 22 kursi.
Inilah yang membikin semuanya menjadi dilematis. Disisi lain status Syamsuar sebagai Gubernur Riau, sangat menarik untuk didekati oleh partai politik manapun. Dan Partai Golkar menjadi pihak yang paling potensial untuk dikaitkan dengan Gubernur. "Syamsuar punya rekam jejak di Partai Golkar. Selama ini Partai Golkar punya tradisi memegang kekuasaan di ranah eksekutif dan legislatif di Riau. Jadi ada peluang untuk merapat ke sana. Hanya saja jika itu terjadi harus siap dicap sebagai kutu loncat," katanya.