Jakarta, Gatra.com - Ekonom Senior Universitas Indonesia, Faisal Basri memberikan berbagai catatan dalam pemerintahan Jokowi lima tahun lalu.
"Kalau dari segi pertumbuhan ekonomi jeblok, dari 7 persen target (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJMN 2014-2019), tapi hanya 5 persen," katanya kepada awak media di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Kamis (10/10).
Dikatakan, selama 2014-2019, pertumbuhan ekonomi selalu berada di kisaran 4-5 persen.
Faisal juga menyoroti neraca perdagangan Indonesia yang terus memburuk. Defisit neraca perdagangan Indonesia melebar dari USD 2,20 miliar pada tahun 2014 menjadi USD 8,57 miliar pada tahun 2018.
Sementara pada kurun Januari-Agustus 2019, defisit mencapai USD 1,81 miliar.
Di sisi lain, Faisal mengapresiasi pemerintahan Jokowi yang mampu menjaga inflasi tahunan di kisaran 3 persen pada 2015-2018. Padahal tahun 2014, tingkat inflasi tahunan mencapai 8,36 persen.
"Yang berhasil inflasi luar biasa mampu stabil dalam kurun waktu yang panjang. Kemudian pembangunan perbatasan, fisik segala macam," ungkapnya.
Meski Jokowi gecar membangun infrastruktur fisik, Faisal melihat pusat ekonomi masih berlangsung di Pulau Jawa (Jawa Sentris).
"Ada yang lupa. Oke membangun dari pinggiran, tapi faktanya kue membesar Jawa terus. Sebanyak-banyak uang digelontorkan ke daerah atau ke Indonesia Timur, itu jauh lebih besar dari uang yang digelontorkan di Jawa, itu koreksi saya. Jadi masih Jawa sentris," terangnya.
Faisal menambahkan studi kelayakan (feasibility) pembangunan masih kurang diperhatikan. Dicontohkan 70 persen proyek Kementerian Perhubungan dilakukan tanpa studi kelayakan.
"Jadi harus saya katakan Pemerintah Jokowi ini membangun rada ugal-ugalan," ucapnya.
Selain itu, Faisal melihat adanya kekuatan bayangan (shadow power) yang mengatur kekuasaan negara, bahkan lebih berkuasa daripada penguasa formal.
"Memasukan agenda kepentingan sendiri. Ini tidak boleh terjadi lagi ke depannya," tegasnya.