Cianjur, Gatra.com - Bumi Ageung Cikidang, sebuah rumah lawas yang terletak di Jalan Mochamad Ali No 64, Solokpandan adalah saksi bisu dari sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam menghadapi penjajahan Belanda dan Jepang. Letaknya yang menyempil ke dalam, di antara deretan pertokoan membuat rumah bercat kuning itu tak begitu terlihat dari jalanan. Saat memasuki halaman rumah, pengunjung akan langsung disuguhi dengan hawa sejuk, yang dihasilkan oleh pepohonan rindang yang tumbuh di sekitar rumah.
Pengurus rumah, Rachmat Fajar mengatakan, Bumi Ageung dalam bahasa Sunda artinya rumah yang besar. Sedangkan Cikidang adalah nama daerah itu sebelumnya, yang dalam Bahasa Sunda berarti kidang atau kijang. "Bumi itu rumah, ageung itu besar. Jadi rumah yang besar. Kalau cikidang itu dari kata kidang arau kijang. Dulu, waktu pertama rumah ini di bangun, sini masih hutan, ada ratusan kidang yang berkeliaran bebas, jadi disebutlah daerah sini Cikidang," tutur Fajar kepada Gatra.com, sambil berkeliling rumah.
Bumi Ageung Cikidang sendiri dibangun Bupati Cianjur ke-10, R.A.Aria Prawiradiredja II. Pada saat itu, dia menginginkan rumah pribadi, tempat untuk beristirahat dari segala kemelut urusan pemerintahan. Maka pada tahun 1886, dibangunlah sebuah rumah peristirahatan yang letaknya sekitar 200 meter dari rumah dinasnya di Pendopo.
Barulah pada tahun 1910, Bumi Ageung diwariskan kepada putri sematawayangnya yang bernama Raden Ayu Tjitjih Wiarsih dan kemudian dijadikan sebagai rumah tinggal utama. Karena pada saat itu, Tjitjih tak bisa meneruskan jabatan sang ayah.
"Karena Tjitjih perempuan, jadi tidak bisa meneruskan jabatan ayahnya. Jadi itu turunnya ke samping. Ke saudara terdekat. Setelah itu pindahlah Tjitjih sekekuarga ke sini," kisah Fajar.
Pada masa kepemilikan Tjitjih ini lah, rumah itu mulai berjasa bagi perjungan rakyat Indonesia. Lantaran digunakan sebagai tempat perumusan pembentukan tentara PETA (Pembela Tanah Air) pimpinan Gatot Mangkoepradja tahun 1943-1945. Sampai PETA berpindah kantor ke Kampung Bihbul, Desa Nagrak, Kecamatan Cianjur yang jalannya kini dikenal dengam Jalan Gatot Mangkupradja.
Tidak hanya itu, di Bumi Ageung juga lah rapat-rapat strategi PETA dilaksanakan. Oleh karenanya, pada masa peralihan, dari penjajahan Belanda ke Jepang, rumah itu dijadikan sasaran utama tembakan mortil dari tentara penjajah. "Bumi Ageung direnovasi pertama kali pada tahun 1950 setelah hampir hancur karena terkena bom pasukan Jepang dan Belanda. Jadi sasaran karena dulu, rumah ini sering dijadkan tempat rapat tentara PETA," imbuh keturunan Bupati Cianjur yang ke empat itu.
Pada 9 Agustus 1949, Bumi Ageung pun menjadi saksi bisu peristiwa penyerahan kekuasaan Belanda kepada tentara republik wilayah Kota Cianjur. Selain itu, rumah ini pernah dijadikan sebagai tempat perlindungan manula, perempuan, dan anak-anak keturunan Tionghoa, ketika terjadi kerusuhan etnis di Cianjur sekitar tahun 1962-1963. Karena sarat akan sejarah, Fajar bersama pamannya Pepet Djohar berusaha melestarikan Bumi Ageung, dengan menjadikannya sebagai cagar budaya. Usaha mereka disambut baik oleh pemerintah, karena pada tahun 2010, Bumi Ageung ditetapkan menjadi Benda Cagar Budaya Nasional bedasarkan SK Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.
Di dalam rumah, para pengunjung dapat melihat benda-benda yang pernah digunakan oleh Bupati Cianjur ke-10. Pun dengan beberapa furnitur yang berhasil diselamatkan setelah rumah itu sempat diduki Belanda dan Jepang. Selain itu, pengunjung pun disuguhi pula dengan foto-foto keluarga, dari foto yang paling lama, hingga foto-foto terbaru, dari pernikahan cicit Tjitjih yang dilaksanakan di pelataran rumah.