Home Politik Pakar UGM: Buzzer Bikin Demokrasi Baper

Pakar UGM: Buzzer Bikin Demokrasi Baper

Yogyakarta, Gatra.com – Dosen komunikasi politik Fakultas Ilmu dan Sosial Politik Universitas Gadjah Mada Nyarwi Ahmad menilai kehadiran buzzer dalam meramaikan dunia politik Indonesia di media sosial akan membuat publik baper atau terbawa perasaan di alam demokrasi ini.

Pandangan itu dikemukakan Nyarwi saat mengisi diskusi bertema ‘Buzzer Politik dan Benalu Demokrasi’ yang berlangsung di lobi Fisipol UGM unit II, Sekip, Rabu (9/10) sore.

“Buzzer sudah lama ada, namun lebih dikenal di dunia pemasaran dan bisnis. Istilah buzzer dikenal luas seiring maraknya penggunaan medsos untuk membahas politik,” katanya.

Menurutnya, keberadaan buzzer sebenarnya bisa dilacak saat Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014. Namun saat itu polarisasi di masyarakat akibat buzzer belum tampak. Pada Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019, buzzer menjadi pembicaraan banyak pihak.

Nyarwi menjelaskan, buzzer bekerja dengan menyebarkan berbagai isu atau informasi yang tidak terverifikasi. Dengan begitu, keberadaan buzzer bisa berbahaya bagi masyarakat. Sebab dengan memanipulasi opini, buzzer bisa menghilangkan ruang debat di alam demokrasi.

“Buzzer hadir guna menyerang lawan politik lewat berbagai informasi negatif tanpa konfirmasi. Masyarakat yang membaca diajak sepenuhnya percaya pada bingkai informasi yang dibuat buzzer dan ini mampu menghadirkan polarisasi di masyarakat," katanya.

Menurut Nyarwi, jika sampai terjadi polarisasi di ruang publik yang membahas politik, maka ruang untuk berdebat dan menyampaikan pendapat secara merdeka akan dibungkam oleh sudut pandang yang disebarkan buzzer dan pengikutnya secara masif.

“Ini menjadikan demokrasi kita baper. Sedikit berbeda, langsung diserang dari berbagai sudut dan direndahkan kredibilitasnya. Ini tidak baik bagi iklim demokrasi kita,” jelasnya.

Terlebih lagi, kata Nyarwi, budaya politik masyarakat Indonesia masih pasif, tidak berani mengungkapkan suara dengan lantang, dan cenderung mewakilkan suaranya lewat aktor politik tertentu. Dengan kondisi itu, peluang kehadiran buzzer sangatlah mudah di dunia politik Indonesia.

Melalui buzzer, elit politik menguasai dan meracuni ruang publik dengan informasi yang tidak valid, penuh kebohongan, dan mengarahkan keonaran. Monopoli ini memunculkan rasa ketakutan yang akhirnya membuat publik tidak bebas berpendapat.

“Saya tidak membayangkan jika informasi penuh kepalsuan dari buzzer ini menyerang kredibilitas lembaga negara yang dipercaya publik, seperti KPU. Bisa jadi informasi palsu meninggalnya petugas pemilu karena diracun menimbulkan chaos karena masyarakat tidak percaya pada hasil pemilihan,” katanya.

388